"Galiiih, saiki wes sak prawan yo. Mbiyen ketemu ijeh cilik, Je. Semester pira, nok saiki?" tetangga dusun, namanya mbok Dan, sambil meluk terus cipika-cipiki.
"Hehehe. Pun ajeng semester 7,mbok, nyuwun donganipun." jawabku. Lalu kami bicara panjang lebar, biasanya mbok Dan cerita tentang Kang Hidan.
Kemudian aku menghampiri jamaah yang lainnya,
"Owalah, iki Galih, ta. tambah putih saiki?" sapa mbokdhe Ratin basa-basi (padahal masih uitem banget).
"Ah, tenane,mbokde?"
Disisi lain, kakak kelasku SD bilang, "Galih? Kok ijeh cilik? ketmbiyen ramundhak-mundhak (--"). Kaya asing ya kita, terakhir ketemu kowe pas kowe ijeh SMA." Kemudian disambung dengan perbincangan lainnya.
Terakhir, "Mbak, ning Solo meneh kapan? Sesuk kui arisan ne Engga, lho." Ketua pemuda periode 2016-2018 menyapa.
"InsyaAllah, ya."
Iya, perjumpaan yang terjeda sekian lama terkadang memang membuat kita asing, namun tidak membuat kita melupakan perjumpaan yang dulu pernah terjadi :') Hidup di desa itu kental kekeluargaannya, guyub rukun. Selama kamu belum menikah dan ikut dengan suamimu, kamu akan terus dianggap ada di sekeliling mereka. Bahkan ketika kamu sudah tinggal bersama suami, dan pulang ke kampung halaman, kamu tetap terhitung ada. Contohnya, saat kenduri, walaupun kamu sudah tidak tinggal di dusun itu, tapi kamu sedang ada dan pulang di rumah orang tua, kamu akan tetap dihitung :3.
***
Sudah hampir tujuh kali pertemuan pemuda-pemudi aku lewatkan, karena jarang pulang. Pun hampir tiga acara pernikahan teman dusun tidak kuhadiri karena selalu kepasan aku tidak pulang. Kupikir aku akan dikucilkan, karena ada hukum alam di sini, siapa yang tidak memberi maka ia tidak menerima. Maksudnya kalau dia ga datang ya besuk bakalan pada ga datang. Dia dianggap tidak ada.
Tapi ternyata tidak :') Hampir sebulan sekali saat aku pulang maupun sedang di Solo, selalu ada yang nge-PM, "Lih,kowe bali ora? ana arisan ning nggone .... " siapa lagi kalau bukan ketua pemuda :')
Pokoknya selalu ada yang ngaruhke. Dan hari ini, tiba-tiba ada PM whatshap,
"Mbak, ten nggriyo mboten? Nek enggih, sakniki arisan ten nggene Engga. Maaf nggih mbak ndadak." sekretaris pemuda-pemudi.
Entah kenapa aku masih punya semangat berkumpul dengan mereka, walaupun sudah berumur sendiri kalau dibandingkan dengan mereka. Aku kangen rembugan bareng mereka, meskipun musyawarahnya belum tersistem layaknya organisasi, tetep nyenengin. Kadang bikin aku gembreget pengin ngejelasin gini lho ben gampang. Aku masih takut terlalu mengintervensi, dan udah menjadi culture, jadi agak susah diubah kalau ndak ada yang sejalan. Gag sih, itu cuma ungkapan pesimisku aja. Aku ga bisa seenaknya ngasih intervensi trus ninggalin mereka gitu aja, harusnya membersamai bukan malah ngeculke. Iya, aku ga bisa menjanjikan selalu pulang ke rumah, selalu ada saat mereka butuh.
Akhirnya aku datang pertemuan. Pengurusnya udah ganti, udah bukan Fajar lagi, tetangga utara rumah. Tapi, Burhan, tetangga barat rumah persis. Semuanya sudah ganti, udah pada gedhe-gedhe..kecuali aku :3 Pola pikir mereka sudah cukup rasional apalagi mengenai pengelolaan uang. Terbukti, dengan keberanian mereka mengambil keputusan menanam pohon Sengon untuk investasi khas pemuda :3 Pohon Sengon laku jutaan jika dijual. Pemuda memanfaatkan jalan sebelah timur rumahku yang kanan kirinya belum ditanami pohon. Ya gitu deh ceritanya, agak panjang.
Itulah segala hal yang kunamakan pulang. Tidak hanya sekedar pulang ke rumah, tapi pulang juga ke dunia sekitar rumah, ke lingkungannya sampai kegiatannya, kalau temen rumahku bilang, "Urip iku aja gur ndhekem ning ngomah. Mengko gur ditakoni omahe tangga ora ngerti, padahal mung tangga sandhinge." :D (Hidup itu jangan cuma berdiam diri di rumah. Nanti cuma ditanyain rumah tetangga tidak tahu, padahal cuma tetangga dekatnya.)
Pulang memang hal termenyenangkan. Lantas, siapkah kamu 'pulang'?
Pulang memang hal termenyenangkan. Lantas, siapkah kamu 'pulang'?
Komentar
Posting Komentar