Senja ini, kami anak expi brotherhood jalan-jalan ke taman lampion. Taman lampion terletak di sekeliling Monjali(Monumen Jogja Kembali). Ba'da magrib aku sudah siap meluncur ke smada, titik kumpul kami. Tapi, tiba-tiba ada seorang datang ke rumahku. Bapak memanggilku, beliau tidak bisa membukakan pintu gerbang depan karena sedang membenahi pipa pralon bocor di dapur.
Ternyata tamu itu mas Ginanjar, putra Pak Sena, teman ayahku. Dia datang sekeluarga. Aku mempersilahkan mereka duduk dan segera menjamu alakadarnya.
"Pak, ada Pak Sena sekeluarga. Nayla pamit ya, Pak!"
Aku pergi.
***
Akhirnya kami sampai di taman Lampion. Lagi-lagi Rey. Kenapa sih mereka tidak memahami sedikit saja perasaan Liana. Iya, kebetulan aku, Rey dan Liana adalah teman sekelas saat kelas X. Sedari tadi teman-teman menggodaku dan Rey. Tidak pernah henti meski aku dan Rey cuek tak menanggapi. Saat-saat seperti itu, aku memilih melarikan diri karena menerjang masalah bukan jalan yang berbaik hati. Aku mengajak Kinan partner basket yang juga bagian dari expi brotherhood pergi ke wahana rumah hantu. Sebelum itu Kinan ingin pergi ke toilet dulu, Aku menunggunya sebentar. Takut kencing katanya di rumah hantu nanti.
"Ini."
Liana tiba-tiba saja menghampiriku, menyodorkan sepucuk surat, tersenyum manis, sepaket dengan lesung pipitnya.
"Ini apa, Li?" tanyaku. Liana bilang, "Buka aja, tapi setelah aku pergi, ya. Biar enak ngebacanya. " Liana pergi dari keberadaanku.
Aku membuka surat takut-takut. Ah, tidak jadi, Kinan udah keluar dari sini. Tapi, penasaran. Dan akhirnya akupun membukanya.
Nayla, jika sepi berlabuh padamu, maka carilah keramaian. Jangan terpaku pada temaram yang sudah bersetia pada hujan. Akuilah semuanya itu. Jujurlah pada dirimu sendiri, sebelum badai menghapus cahaya yang seharusnya menjadi milikmu.
-Liana_
Kinan melongo membaca surat itu.
"Ih apasih maksudnya, pake badai-badai segala, kan serem, Nay." tanya Kinan.
"Hahaha, ga usah dipikirin. Tuh, jangan suka ngegodain aku ama Rey, aku dapet Surat Peringatan kan, dari Liana!" candaku.
"Lah, Liana ama Rey kan cuma temen seband."
Aku tidak akan merasa rugi jika Rey menjadi milikmu, Liana. Sekalipun semua orang tak tau apa-apa menyoal perasaanmu, sorot matamu yang bening dan dalam setiap menatap Rey, dan semua tentang perhatianmu itu. Aku tetap akan berjalan sendiri seperti biasa. Aku tetap akan berlari. Bukan mengejar Rey, tapi membawa apa yang telah kupegang ke tempat yang lebih tepat. Hanya saja aku akan lebih berjuang meninggalkan perasaan itu. Aku tak bisa berkata jujur pada diriku sendiri. Karena diri sendiri sudah menyaksikan kenyataan yang lebih dulu jujur. Sabar dan tunggu surat balasan dariku, Liana.
***
Taman lampion kali ini berhasil memisahkan jarak kedua bola mata kami, aku dan Rey. Pun tak mempersatukan Liana dengan Rey. Kita melebur menjadi expi brotherhood, lepas dari segala urusan pribadi kami.
"Ciss." Bekti memotret kami ber-32 sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing.
Ternyata tamu itu mas Ginanjar, putra Pak Sena, teman ayahku. Dia datang sekeluarga. Aku mempersilahkan mereka duduk dan segera menjamu alakadarnya.
"Pak, ada Pak Sena sekeluarga. Nayla pamit ya, Pak!"
Aku pergi.
***
Akhirnya kami sampai di taman Lampion. Lagi-lagi Rey. Kenapa sih mereka tidak memahami sedikit saja perasaan Liana. Iya, kebetulan aku, Rey dan Liana adalah teman sekelas saat kelas X. Sedari tadi teman-teman menggodaku dan Rey. Tidak pernah henti meski aku dan Rey cuek tak menanggapi. Saat-saat seperti itu, aku memilih melarikan diri karena menerjang masalah bukan jalan yang berbaik hati. Aku mengajak Kinan partner basket yang juga bagian dari expi brotherhood pergi ke wahana rumah hantu. Sebelum itu Kinan ingin pergi ke toilet dulu, Aku menunggunya sebentar. Takut kencing katanya di rumah hantu nanti.
"Ini."
Liana tiba-tiba saja menghampiriku, menyodorkan sepucuk surat, tersenyum manis, sepaket dengan lesung pipitnya.
"Ini apa, Li?" tanyaku. Liana bilang, "Buka aja, tapi setelah aku pergi, ya. Biar enak ngebacanya. " Liana pergi dari keberadaanku.
Aku membuka surat takut-takut. Ah, tidak jadi, Kinan udah keluar dari sini. Tapi, penasaran. Dan akhirnya akupun membukanya.
Nayla, jika sepi berlabuh padamu, maka carilah keramaian. Jangan terpaku pada temaram yang sudah bersetia pada hujan. Akuilah semuanya itu. Jujurlah pada dirimu sendiri, sebelum badai menghapus cahaya yang seharusnya menjadi milikmu.
-Liana_
Kinan melongo membaca surat itu.
"Ih apasih maksudnya, pake badai-badai segala, kan serem, Nay." tanya Kinan.
"Hahaha, ga usah dipikirin. Tuh, jangan suka ngegodain aku ama Rey, aku dapet Surat Peringatan kan, dari Liana!" candaku.
"Lah, Liana ama Rey kan cuma temen seband."
Aku tidak akan merasa rugi jika Rey menjadi milikmu, Liana. Sekalipun semua orang tak tau apa-apa menyoal perasaanmu, sorot matamu yang bening dan dalam setiap menatap Rey, dan semua tentang perhatianmu itu. Aku tetap akan berjalan sendiri seperti biasa. Aku tetap akan berlari. Bukan mengejar Rey, tapi membawa apa yang telah kupegang ke tempat yang lebih tepat. Hanya saja aku akan lebih berjuang meninggalkan perasaan itu. Aku tak bisa berkata jujur pada diriku sendiri. Karena diri sendiri sudah menyaksikan kenyataan yang lebih dulu jujur. Sabar dan tunggu surat balasan dariku, Liana.
***
Taman lampion kali ini berhasil memisahkan jarak kedua bola mata kami, aku dan Rey. Pun tak mempersatukan Liana dengan Rey. Kita melebur menjadi expi brotherhood, lepas dari segala urusan pribadi kami.
"Ciss." Bekti memotret kami ber-32 sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing.
Komentar
Posting Komentar