Sekotak Kenangan
Goresan: Galih Ratna Puri Palupi
Hari
Minggu. Matahari berjalan pelan ke arah Barat menjemput senja. Pelan-pelan
langkah Danar berjalan menuju ke luar rumah. Danar merupakan seorang mahasiswa di
sebuah universitas daerah Surakarta. Saat ini ia sedang menikmati masa libur
kuliah di kampung halaman, Yogyakarta. Sore hari, dia berencana ke luar rumah
untuk melepas penat. Sepeda ontel berwarna coklat ia keluarkan dari garasi.
“Duh, bannya
kempes.” Keluhnya
“Dipompa di
tempatnya Candra, Le!” Ibu berteriak
dari dalam rumah. Candra adalah tetangga rumah yang mempunyai pompa sepeda.
“Inggih, Buk.”
Tanpa
ragu Danar menuntun si Semar, nama sepeda ontelnya, menuju ke rumah Candra. Lima menit menjelang, dia
kini tepat di depan pintu rumah Candra.
“Kula nuwun, Candra!” Danar memanggil
sembari mengetuk pintu rumah Candra.
“Sinten, nggih?” terdengar suara Candra
dari dalam rumah.
“Danar, Ndro!”
teriak Danar.
“Owalah, Danar.
Kapan pulang dari Solo? Mau pinjem pompa, ya?”
“Udah dari hari
Rabu kemarin. Wah, tau aja, Ndro, hahaha. Udah lama ndak sepedaan, pengin muter-muter kampung.”
“Oke, bentar aku
ambilin pompanya.”
Danar
memompa ban sepedanya. Setelah selesai, ia berpamitan kepada Candra dan tak
lupa mengucapkan terimakasih. Ia kayuh si Semar sembari menelisir jalan yang
dulu sering dilewatinya menuju sekolah bersama teman-teman. Seketika pikiran pulang
ke masa lampau.
“Nanti kalau
udah pulang sekolah ke rumah Pak Sur, yuk. Nekeran!”
celoteh Danar kecil kepada teman-temannya, Adi, Desta, Fahnan, Ali, Citra dan
Emi.
“Ya, nanti aku
diampiri, ya!” jawab Fahnan.
Danar
ingat, waktu itu ia masih kelas tiga SD. Jarak rumah ke sekolah dapat ditempuh
hanya dengan berjalan kaki. Rumah teman-teman juga tidak terlalu jauh dengan
rumahnya, jadi setiap berangkat ke sekolah mereka selalu bersama-sama.
Sepanjang jalan menuju sekolah mereka isi dengan membicarakan agenda rutin seusai
pulang sekolah nanti, yaitu bermain. Citra dan Emi sibuk membicarakan mainan
orang-orangan dari kertas.
“Eh, ada
orang-orangan baru ndak ya di Bu
Asih?” celoteh Emi kepada Citra. Bu Asih adalah penjual mainan anak-anak di SD.
Emi dan Citra selalu update
orangan-orangan yang terbuat dari kertas beserta segala jenis baju dan
perlengkapannya.
Sementara
Danar kecil dan yang lain memperbincangkan neker
dan pong-pongan. Neker adalah sebutan lain dari kelereng,
sedangkan pong-pongan adalah binatang
kepompong yang seringkali ditemukan di pantai, di sekolah ada seorang bapak
yang menjualnya. Dulu ada beberapa jenis permainan kelereng, ada yang dengan
lubang dan yang satunya dengan garis. Biasanya anak-anak lebih sering memainkan
kelereng dengan membuat lubang karena lebih mudah dimainkan baik oleh laki-laki
maupun perempuan. Salah satu dari teman-temannya ada yang membuat lubang kecil
di tanah dengan diameter sekitar sepuluh centimeter. Setelah lubangnya jadi,
mereka membuat garis star dengan jarak lima langkah dari lubang. Permainan
dapat dimainkan oleh banyak pemain. Pemain bersiap di belakang garis dengan
membawa kelereng masing-masing. Kelereng dilempar menuju lubang. Sasaran utama
adalah kelereng masuk ke lubang. Pemain yang kelerengnya masuk ke dalam lubang,
ia berhak bermain pertama kali dan membidik kelereng lawan. Kelereng yang
terbidik dinyatakan mati, dan kelereng yang dapat bertahan paling akhir ialah
yang menjadi pemenang. Jika kelereng tidak ada yang masuk ke lubang, pemain
yang pertama kali main adalah ia yang kelerengnya terletak paling dekat dengan
lubang. Tugas utamanya adalah memasukkan kelereng menuju kelubang dengan cara
menyentil kelereng tersebut dengan tangan, begitu juga dengan pemain lainnya.
Kemudian, setelah itu baru bisa menyerang kelereng lain. Pemain yang dinyatakan
gugur dalam permainan adalah mereka yang terbidik kelereng lawan dan yang kelerengnya
masuk lagi ke lubang untuk ke dua kalinya.
Ada persamaan antara kelereng dengan permainan
pong-pongan yaitu sama-sama dengan
membuat lubang di tanah dan dapat dimainkan oleh banyak pemain. Lubang tersebut
dimasukkan air hingga penuh dan diaduk hingga keruh. Kenapa harus keruh? Kekeruhan
merupakan rintangan yang harus dilalui pong-pongan
dan para pemain tidak mudah menebak serta sabar menunggu kepompong siapa yang
muncul pertama di permukaan. Cara bermainnya adalah masing-masing pemain
memegang satu pong-pongan dan
dimasukkan ke lubang tersebut secara bersama-sama. Pong-pongan yang pertama kali muncul ialah pemenangnya.
Begitulah
gambaran permainan Danar kecil.
***
Danar
masih mengayuh sepeda pelan. Saat ini ia melewati rumah Pak Sur. Rumah tersebut
sudah kosong sejak lama. Nama pemiliknya adalah almarhumah Pak Sur. Anak-anak
sering kali bermain di sana, selain halamannya luas, rumah Pak Sur juga jauh
dari rumah lain sehingga ketika bermain di sana suara Danar dan kawan-kawan
tidak mengganggu para tetangga yang sedang beristirahat di rumah. Mata Danar
masih mencoba mencari-cari ingatan yang tenggelam sejak berpuluh tahun yang
lalu. Dia ingat bahwa dulu pernah bermain gul-gulan
di sana, kasti, jamuran, pak ekong
(petak umpet), dan egrang dengan teman-temannya. Teman-teman Danar kecil
beragam, mulai dari kakak kelas, adik kelas, dan tetangga dusun.
Dulu
tempat itu selalu ramai setiap sore. Senja tak pernah kesepian dibuatnya.
Sekarang, rumah kosong itu semakin terlihat kosong. Sepi. Tidak ada anak-anak
bermain di sana. Danar tersenyum tipis sembari memandangi kenangan yang
tersemat di dinding-dinding rumah Pak Sur. Kemudian, ia mengayuh sepedanya
pulang ke rumah.
“Sekalipun waktu telah beranjak
pergi dan permainan-permainan itu telah membungkam mulutnya. Nilai-nilai yang
tumbuh darinya bukanlah sesuatu yang dapat dibunuh mati, bertahan dan berjalan
dalam tindak.“ kata Danar
menutup senja hari ini.
Komentar
Posting Komentar