Langsung ke konten utama

Review Film Al-Ghazali Kimia Kebahagiaan



Data / Identitas Film :
Judul Film                               : Al-Ghazzali Kimia Kebahagiaan
Oleh                                        : Ovidio Salazar

Pemeran             :
  • Ghorban Nadjafi sebagai Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali
  • Dariush Arjmand sebagai Nizam al-Mulk
  • Robert Powell sebagai Pengisi Suara Al-Ghazali
  • Mitra Hajjar sebagai istri Ghazali
  • Abdol Reza Kermani sebagai Ahmad Ghazali
  • Muhammad Poorsattar sebaga Sufi Guardian
  • Ali Mayani sebaga Magician


“Kita datang ke dunia ini lalu meninggalkannya, sejauh itu sudah pasti kurasa.  Jalan tempat kita mengarungi dunialah yang perlu kita pahami.”

Film yang berdurasi  01:19:11 dan berbahasa Inggris ini berjudul Kimia Kebahagiaan, ada versi bukunya edisi berbahasa Indonesia diterjemahkan dari buku aslinya yang berbahasa Inggris, The Alchemy of Happiness karangan Al-Ghazali, terbitan Ashraf Publication, Lahore, Mei 1979. Film ini berkisah tentang perjalanan Al-Ghazali mengabdikan hidupnya untuk menyelidiki rahasia keperiadaan dengan mengatasi keraguan falsafinya  serta mencapai pencerahan spiritual.  Karena puncak di dalam diri manusia tidak cukup aktualisasi diri yang didominasi nafsu duniawi melainkan kesadaran diri mengenai Tuhan, keberadaan Tuhan dalam diri, spiritualitas. Realitas Puncak.

Ghazali diceritakan melalui beberapa sudut pandang, dari tokoh utamanya langsung, dari beberapa pakar dan dari seseorang yang ingin memahami jejak Ghazali. Di awal cerita terdapat seseorang yang ingin memahami jejak Ghazali, tidak disebutkan siapa namanya. Ia berkunjung di sebuah kota bernama Thus, tepatnya di tempat pemakaman Ghazali yang juga sering disebut penjara Harun. Ia didampinngi oleh Mohammad Yahagi, Lecturer, Persian Literature Mashad University yang menjelaskan bahwa yang selama ini disebut pusaran Ghazali hanyalah tugu pusaran saja,  karena pemakaman Ghazali masih misterius adanya. Thus, Khurasan di Timur laut Iran, tempat Ghazali dilahirkan yaitu tahun 1058. Kota ini dahulu menjadi pusat budaya Islam yang besar dan luas, banyak ulama lahir di sana termasuk Ghazali. Pada masa  Ghazali merupakan masa peradaban terhebat yang pernah ada, terbesar, paling makmur, dan secara intelektual maupun arsitektural terproduktif. Pada film, dijelaskan oleh T.J. Winter, Lecturer, Islamic Studies Cambridge University  bahwa Khurasan diperkirakan tempat paling produktif di wilayah tengah Islam, saat itu. Sekarang letak kota itu diperkirakan di daerah  Asia Tengah. Ada kota besar, universitas besar di sana, dan pusat studi hukum Islam (fiqh).  Prinsip  awal tashawuf dijabarkan  di Khurasan, dijadikan metode agar setiap Muslim bisa kembali ke spiritualitas asli di inti keimanan. Jadi, saat itu Khurasan memang jantung intelektualitas Islam dan gegap gempita kehidupan Muslim periode itu. Pasukan Mongol meratakan kota-kota besar Khurasan dan memendam dalam-dalam, menghilangkan dan menghapus hampir semua jejak pusat studi dan budayanya.

Film ini mulai menjelaskan siapa Al-Ghazali melalui  T.J. Winter, Lecturer, Islamic Studies Cambridge University  di awal film. Ia menjelaskan bahwa Al-Ghazali umumnya dipandang sebagai satu dari 5 atau 6 pemikir paling berpengaruh dalam sejarah kemanusiaan. Pengaruh tersebut hidup hingga kini, beliau memperlihatkan bahwa jantung keimanan dan setiap amalan Islam ada makna spiritual dan proses tobat, perbaikan dan hijrah (transformasi). Itulah sebabnya beliau disebut “Bukti Islam” (Hujjatul-Islam).

Kimia Kebahagiaan adalah salah satu buku yang ditulis oleh Al-Ghazali dan inilah versi filmnya. Di dalam film ini digambarkan bagaimana beliau memaparkan  makna batiniah ritual Islam dan metode menuju pencerahannya. Sesi demi sesi film ini cukup membuka pikiran dan pandangan penonton. Selain bahasanya yang membutuhkan penafsiran dan analisis pikiran, terkandung filosofi makna-makna yang baik untuk dipahami. Tepat sekali untuk kamu yang ingin mendalami dasar dan tujuan kehidupan seorang manusia  di bumi ini. Kepastian, yang dalam film ini harus ditemukan terlebih dahulu dasarnya. Kodrat manusia dan keadaan dasarnya adalah kehampaan dan ketidaktahuan akan dunia gaib Tuhan. Manusia mendapatkan pengetahuan melalui organ duniawi yang setiap dari organ tersebut dianugerahkan kepada kita semua untuk memahami dunia makhluk. Ialah indra perabaan yang membantu kita merasakan kenyataan mengenai panas dan dingin, indra penglihatan, indra pendengaran, indra pengecap dan indra pembau. Lalu, berkembang menjadi lebih kompleks dari sekedar indrawi, manusia diberi nalar, untuk memahami hal-hal abstrak, mana yang logis dan tidak logis, mana yang mungkin dan mana yang mustahil, hingga kepada hal di luar jangkauan nalar, ghaib.

Ghazali dan adiknya ditinggal wafat oleh ayahnya , Shufi, saat masih kecil. Sekitar usia tujuh tahun. Selama ditinggal wafat, mereka dititipkan kepada teman terpercaya ayahnya, seorang wali shufi, seorang “Faqir”. Menariknya, di bagian ilustrasi ketika ayahnya wafat dan menyampaikan wasiatnya kepada guru, teman terpercaya untuk merawat ghazali dan adiknya, dipaparkan bahwa seorang guru itu lebih penting daripada seorang ayah biologis seseorang. Pada hal tersebut Ghazali ingin menekankan gagasan “keabadian Ilahiah”, tentang yang pasti datang, apa yang fana, dan apa yang abadi. Pada perjalanan abadi, seseorang membutuhkan guru untuk menuntun perjalanan melintasi dunia. Sedang ayah memberimu kehidupan untuk perjalanan duniawi, ia tak memberimu sarana untuk melintasi dunia ini. Manusia membutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuan. Di bagian ini, kita disadarkan bahwa pengetahuan tidak semata di dapatkan secara cuma-cuma, seperti searching di google, setelah ketemu selesai, tidak. Namun, kedalamannya ada pada dasar pengetahuan itu, tak banyak yang mengetahui, maka harus datang ke seorang atau sebuah sumber untuk mendapat kebenarannya.

Ghazali dikenal sebagai anak ajaib, beliau hafal teks standar di usia dini, dan menghabiskan seluruh peluang intelektual di kotanya, di awal remaja. Beliau menimba ilmu ke kota propinsi tetangga, Nisyapur di kelas Al-Juwaini. Sejak kecil ia haus akan ilmu, akan pemahaman mengenai kebenaran sesungguhnya segala hal. Selain itu, beliau juga memliki selera tak terpuaskan akan pengetahuan. Pengetahuan diserapnya berbasis konsep Islam “Tauhiid” melalui kerangka berpikir. Mencerna mengenai keesaan puncak Tuhan, dan bagaimana keesaan itu mewujud melalui keragaman di dunia, berbicara tentang hasrat mencapai akar dari masalah. Beliau menguasai, hafal, menghayati dan mengajarkan hal-hal tersebut di usia dini. Beliau menyaksikan beberapa hal seperti otoritas agama langsung dari kehidupan, kejadian yang sesungguhnya, seperti ia menyaksikan sendiri anak-anak Kristen selalu dibesarkan menjadi orang Kristen, anak-anak Yahudi menjadi Yahudi, dan Anak-anak muslim menjadi muslim. Ia juga mengaitkannya kepada hadist Rasulullah SAW. 

Ghazali mengamati bahwa beberapa faktor luar dari diri manusia membentuk berbagai pengamalan wahyu dan pengalaman beragama, yang pada intinya adalah keperiadaan Ilahiah. Ghazali menyoal tentang sifat alamiah manusia, fithrah, merujuk hadist Rasulullah SAW.  
Cinta Tuhan dan Ibadah kepada Tuhan, untuk itulah manusia diciptakan. Ibadah tertinggi adalah mengenal Tuhan. Keterkaitannya dengan fiitrah adalah, jika beribadah mengabdi kepada Tuhan bagi umat manusia berarti mengenal Tuhan, maka itu meniscayakan tak lain Tuhan mengaruniai manusia fitrah agar ia bisa mengenal Dia. Secara alamiah adalah pengenalan atas Yang Dikenal dan yang mengenali. Pengenalan Tuhan dan seorang hamba yang mengenalinya dengan segenap kesadaran. Tujuan diciptakan manusia sejak waktu diciptakan.

Banyak pandangan-pandangan Ghazali terkait keperiadaan manuasia, realitas puncak telah dipaparkan secara mendetail, dari fitrah manusia, tujuan ia diciptakan, hingga terus naik kepada realitas puncaknya yaitu kesadaran spiritual. Menceritakan pula sisi tragis keperiadaan manusia salah satunya ialah saat manusia mengesampinngkan Tuhan dari pencarian diri, hingga menuhankan hal lain sebagai gantinya. Sifat alamiah manusia yang akan mencari ganti untuk mengisi ruang kosong dalam dirinya.
Ada pesan moral di film ini yakni manusia harus dapat mendamaikan iman dan nalar agar tidak mengamalkan agama secara buta di dunia ini. Ada banyak hal yang menyalahartikan agama dengan argumen-argumennya, membuat fungsi agama menjadi memuakkan dan hal keduniawian yang sifatnnya fana menjadi begitu menggiurkan. Oleh karenanya, kita perlu pengetahuan yang lebih untuk menjinakkan hal-hal nalar yang berpotensi mengesampingkan iman, tak sadar lagi akan yang gaib, agar Tuhan tetap menjadi fokus utama di hati dan hidup kita.

Ghazali berkelana untuk belajar kepada ahli kalam terkemuka di masanya. Sebagian pelajaran yang diperolehnya melalui cara yang tak terduga. Ada aral, rintangan dalam perjalanan Ghazali. Dalam sebuah perjalanan bersama rekannya, terjadi sebuah perampokan yang berdampak besar pada Ghazali, segala ilmu yang dikumpulkan dari guru-gurunya selama dua tahun lenyap dirampas oleh para perampok. Beliau berkata bahwa apa yang dibawanya tidak berharga bagi perampok itu, dibalas oleh si perampok dengan perkataan, “Jadi aku cukup merampasnya darimu untuk menghapus pengetahuanmu.” Terngiang perkataan tersebut dalam benak Ghazali, dalam hatinya berkata bahwa perampok itu benar. Pengalaman tersebut memberi pelajaran kepadanya, ia menekadkan demi Tuhan dan pengetahuan yang didapatkan dari pencegatan masa depan. Beliau menghapalkan catatan yang telah diperoleh selama tiga tahun. Hal tersebut kemudian patut untuk kita ambil maknanya pula. Bahwasannya apa yang terlihat di mata kita dapat hilang kapan saja, namun kita bisa tetap menggenggamnya walaupun hilang dengan cara memahami, menghayati dan menghapalnya. Sesi ini cukup dapat membuka pikiran penonton mengenai hakikat menghapal yang bukan semata-mata untuk mengejar nilai bagi seorang murid untuk mendapatkan nilai, namun untuk bekal, simpanan yang akan tetap abadi jika sewaktu-waktu dia akan hilang, atau meniatkannya agar tetap tersimpan lama bukan asal-asalan menghapal. Akan tetap dimanfaatkan di hidup kita, diajarkan kepada orang lain, dan menjadi pengetahuan yang hidup sepanjang masa.

Seiring berjalannya waktu, Ghazali semakin dikenal kelihaiannya. Ia mencapai puncak aktualisasi diri dengan baik. Kekayaan, status, kemapanan, kepopuleran telah ia pegang. Namun, di suatu waktu timbul kekahwatiran pada dirinya, ia seakan ingin menjadi apa adanya dan menyadari betapa palsu dirinya. Ternyata apa yang telah teraktualisasikan tidak cukup menjawab tentang siapa diri beliau yang sebenarnya. Kepribadian bersembunyi di balik sesuatu. Beliau sedang menyadari akan hal itu, menyadari topeng yang ia tebar di dunia sebagai si jenius, si anak ajaib, dan pendebat cemerlang. Dalam dakwah yang ia sampaikan di masjid-masjid, ada seorang pemakna kehidupan Illahi, menjadi pemicu transformasi beliau, ia berkata, “Wahai batu asah, sampai kapan kau menajamkan besi, tapi kau sendiri tak kunjung tajam?”. Darinyalah beliau akhirnya menyadari bahwa pengetahuan intelektual ini ternyata kejahilan yang sangat samar. Beliau benar-benar berada pada titik sadar,  “Aku fana, aku akan mati. Sudahkah kupersiapkan perjalanan ini?” Krisis keperiadaan, satu-satunya krisis yang bermakna bagi manusia. Keadaan manusia yang semuanya fana. Krisis ini dimulai dengan krisis mental, intelektual, dan bertahap pada realitas psikologis serta psikosomatik (kekalutan) bagi jiwa dan raga. Hal itu menerpurukkan, merusak selera makan, waktu makan dan tidurnya, pelan-pelan.

Ghazali jatuh sakit,  tiada obatnya, karena penyakit itu menyerang jiwanya. Tak cukup di situ, film ini mencapai alur intinya yaitu perjalanan Ghazali mencari keperiadaan. Beliau memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarga, harta, segala hal duniawi yang ia miliki untuk berkelana menemukan keyakinan realitas Ilahiah , meninggalkan kehidupan yang sangat sukses ia capai. Hijrah moral, sadar Illahi dan menarik diri dari nafsu sia-sia. Ia pergi menyembuhkan diri. Jujur pada diri sendiri. Memutus ikatan-ikatan duniawi untuk sementara. Ia memaknai sebuah rumah. Rumah kita bukan di sebuah jalan tertentu, dan tak menghuni tempat tertentu kecuali Tuhan. Beliau juga berniat berhaji ke Makkah.

Ghazali pergi mencari Tuhan di alam liar, berkelana melalui gurun dan hutan. Tawakal bahwa Tuhan akan mencukupi kebutuhan manusia, berusaha untuk terus mengingat-Nya. Merenungi keindahan ciptaanNya, mengenal Tuhan melalui pengajian Al-Qur’an, shalat-shalat, melalui banyak puasa dengan menemui sosok istimewa yaitu kyai dan wali yang sering hidup sementara di alam liar serta menerima seorang murid. Dia abdikan dirinya untuk menyucikan jiwa,  memperbaiki sifat,  membersihkan hati sembari mengingat Tuhan. Menerapkan yang telah dipelajari dari Tashawuf. Beliau memulai kehidupan spiritualnya. Dia memahami realitas  dari pengalamannya langsung, baginya itu sains. Dia menulis hal-hal yang ia temukan dalam perjalanannya agar yang lain dapat memahami. Karena ia yakin, eksperimennya itu, jalannya pada masa itu tidak dapat diulang melalui eksperimen. Beliau mengamalkan beragam amalan spiritual. Ia meyakini kehidupan terbaik ialah meniti jalan Illahi. Cara yang paling masuk akal, sifat yang paling murni.

Akhir film ini menjelaskan serta menjabarkan pemikiran-pemikiran Ghazali tentang sari pati Islam, pengamalan-pengamalan spritual dan keperiadaan fisik, hingga kesadaran dari seseorang yang ingin mendalami kehidupan Ghazali tentang kebutuhan yang sesungguhnya dalam hidup ini.

Film bergizi dan rekomended untuk ditonton semua kalangan. Banyak makna yang  dibendung melalui film ini, salah satu makna itu mengatakan bahwa pada dasarnya kebutuhan puncak manusia itu bukan ketika dia telah berhasil mengaktualisasikan dirinya, namun ada kebutuhan lain yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan untuk mengetahui akar kehidupannya yaitu berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Di bumi ini manusia dibiarkan berkelana melalui jalan yang berbeda-beda, rahim yang berbeda-beda, Tuhan menganugerahkan organ indrawi, nalar dan yang melebihi itu bukan hanya untuk melihat fisik dunia, namun sarana untuk menggali kesadaran, menjadikan Tuhan pengisi ruang kosong dalam diri sehingga tak perlu resah mencari penggantinya karena memang tak ada pengganti sampai manusia lelah mencari yang tepat, ia takkan mampu menemukannya, Tuhanlah yang paling tepat. Hingga mengingatNya, mengenal dan mendekati-Nya dengan cara yang semestinya (berpedoman pada pengetahuan, Al-Qur’an dan Hadist) menjadikan kita cukup untuk merasa bahagia menempatkan diri di bumi, bermakna menempuh jalan kehidupan fana dan kematian yang pasti nyata, menuju keabadian, Syurga dan cinta-Nya.

_Surakarta, 16 Mei 2016, dalam nalar sadar yang masih berkarat_

Ini adalah kali pertamanya aku mereview film. Sungguh, aku benar-benar menyukai film ini meskipun harus dua kali menonton agar bisa benar-benar menangkap makna dalam film ini. Karena menyukainya, review ini kutulis dengan sepenuh hati, tidak ada rasa berat namun tetap saja masih dirundung ketidakpuasan karena belum mahir dalam menyampaikan deskripsi film. Maafkanlah atas khilaf dalam penulisan. Semoga bermanfaat. (^^) Kuucapkan selamat menonton dan memaknai film ini untuk kamu. 

Teruntuk mbak Titis Sekti Wijayanti,
Terimakasih sudah menjadi tanganNya untuk membantuku mendapatkan makna kehidupan melalui film ini .



 

Komentar

  1. Wah mantap review filmnya mbak, menambah inspirasi dan semangat buat nonton film Alghazali yg aq kenal sebagai pengarang kitab ihya ulumuddin^^
    aq aja baru mau nonton filmnya ini hahay

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Selamat menonton, semoga menemukan lebih banyak inspirasi ^^

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Y?

 (Line) "Ka Galih.." seorang adik dari jauh sana, dari Semarang lebih tepatnya. Siang-siang menghubungiku yang sedang asik menulis layar leptop. "Y?" jawabku singkat. Kemudian aku menengok hp lagi. Aku tersenyum tipis. Dia hanya ngeread. Bukan masalah. *** "Ka Galih.." "Ka Galih marah?" "Astagfirullah, kenapa mikir gituuh?" "Kirain marah." "Enggak marah kok. Kenapa sih emang?" "Abis jawabnya cuma Y" "Ckakakakakaa, ya ampun. Maaf deh kalau aku jawabnya singkat." Untung ya, dia bersegera tabayyun, bisa-bisa aku jadi orang yang no problem kalau di mata kuliah teknik konseling, padahal ada yang ngira aku marah gara-gara gaya chat. Sebenarnya ga hanya gaya chat, sekarang cuma diread doang, trus balesnya lama, dan lain-lain bisa bikin orang lain bete . Tapi, aku yakin pertemanan ga sesempit itu, bukan?