Keluar. Aku mengarahkan kedua bola mata ke arah pintu kamar yang sedari tadi terbuka. Angin menyergap lembut ke sela-sela ruangan. Ada oksigen yang kuhirup perlahan. Aku mengeja namamu, kemudian iseng mengartikannya. Aku menggenggam rapat-rapat, menempelkan satu per satu hurufnya di sela jemari. Tersenyum, seolah akan ada dirimu di keabadian nanti. Aku berkali-kali tersenyum mengenang kekonyolanku di hadapanmu. Tidak, benar-benar tidak malu. Aku hanya tertawa mengenangnya, berharap tidak mengulang apa yang tak semestinya kuulangi. Kamu tak pernah menegurku barang sekali. Takutnya aku tak menyadari, bahwa kamu sedang berniat untuk pergi. Hatimu berbalik. Aku tak bisa menghirup oksigen-oksigen ini saat ku tau kamu benar-benar jauh, meninggalkan anak kecil ini dengan ketidakpastian itu. Bagaimana mungkin aku bisa menghirupnya? jika kamulah oksigen dariNya, untukku.
Sudah, ya, aku takut menangis.
Komentar
Posting Komentar