Buat kamu yang waktu kecil pernah dititipin ke tetangga atau pengasuh khusus karena ditinggal orang tua kerja, mungkin pernah merasakan hal yang sama.
Entah sejak aku umur berapa bulan, ibu menitipkan aku kepada seorang perempuan tangguh bernama Mbok Yem. Ibu masih mempunyai kerja sampingan waktu itu, yaitu membuat kue caramel, sus, bolu, dan lain-lain. Saat itu banjir pesanan. Setiap siang ibuku pergi mengajar, sorenya meneruskan aktivitas wirausahanya. Jadi saat itu juga aku maklum kalau harus dititipin. Rumah Mbok Yem satu dusun dengan rumahku. Dekat, 5 menit sampai kalau jalan.
Mbok Yemlah yang setiap hari mengantarku sekolah di TK untuk pertama kalinya. Beliau yang pertama kali melihatku mengacungkan jari dengan segenap keberanian untuk memimpin baris-berbaris dan doa. Beliau juga yang melihatku berlari-lari untuk mendapatkan absensi gambar gajah. Sampai tiba masanya aku sekolah di SD. Masih mbok Yem yang mengantarku :') melihatku maju kedepan membaca "Ini budi" di papan tulis. Mbok Yem juga yang mengambilkan rapotku.
Saat ada yang menyakitiku di sekolah, beliaulah yang sering melindungiku. Bersamanya, aku diajak keliling kebun binatang, purawisata, pantai samas. Iya, mereka selalu meluangkan waktu dan tenaganya untuk membahagiakanku. Hingga aku masih ingat, dulu waktu di pantai sandal beliau hilang keseret ombak. Pulang tanpa alas kaki. Aku menangis tersedu, bukan karena apa-apa, aku hanya kasian. Waktu itu aku sudah sadar mengenai kondisi keuangan simbok. Aku berandai-andai kalau saja aku ini orang kaya, pasti aku bisa beliin sendal yang lebih bagus dari itu. Hihihi.
Simbok punya suami namanya Pak Jono. Anaknya tiga udah gedhe-gedhe, Mbak Mar, Kang Plompong dan Kang Kento. Pak Jono adalah seorang tukang bangunan. Garapannya rapi, pantas saja banyak orang yang memakai jasa beliau. Beliau juga bisa membuat nisan. Nisan almarhumah kakakku juga beliau yang membuatkan.
Pak Jono sering banget membuatkanku mainan. Ayunan kayu, ayunan ban, egrang, ketapel, tembakan bambu sampai rumah pohon. Sering ngajak aku sepedaan keliling desa. Saat panen tebu, beliau sering sekali memetikkan aku glagah, bunga tebu untuk mainan. Pak Jono itu bapak yang asik banget. Mereka berdua adalah orang yang paling bahagia melihat hasil rapotku. Padahal aku ga pernah juara 1. Waktu itu aku masuk lima besar. Di saat orang tua kandungku biasa saja dan membanggakan masku dan mbakku yang selalu mendapat peringkat, di sisi lain simbok dan pak Jono bangga banget dengan hasil akademikku. Aku sering dibelikan es krim contongan, yang dulu masih terbilang mahal. Aku sering diajak ke mana-mana, ke tempat pak Jono kerja. Aku sering iseng ikut ngaduk-aduk semen, bantuin tukang lain bawain adukan semen buat nglepo. 6 tahunan. Simbok adalah seseorang yang banyak kuandalkan sejak kecil.
Sampai saat akhir kelulusan, kelas 6. Akhirnya aku bisa menjadi salah satu siswi yang maju kedepan, dipanggil menerima penghargaan. Saat itu, bukan simbok lagi yang mengambilkan rapor, tapi bapak. Itu bahagia kesekian, saat akhirnya orangtuaku sendiri yang mengambil raport. Dulu mimpi terbesarku bukan juara 1, aku bermimpi orangtuaku sendiri yang mengambilkan rapot dan bisa ngalahin temen sekelas yang bernama Aan udah cukup bagiku. Hahahaha. Dan masih simbok yang menjadi orang terapresiatif waktu itu, dan tetangga-tetanggaku. Sejak kecil bersama simbok aku dibebaskan bersosialisasi dengan siapa saja. Aku banyak belajar kesederhanaan darinya.
Simbok adalah orang yang tak pernah biasa saja denganku. Sekarang beliau masih bekerja di rumahku sebagai buruh cuci, setiap pulang ke rumah aku ndak pernah nyuci. Beruntungnya aku hidup di perantauan, tau rasanya melakukan apapun sendiri ^^ tau rasanya berjuang menjadi insan yang tangguh dan tidak melulu bergantung.
Simbok. Orang yang sampai sekarang masih saja bangga denganku, padahal aku tak pernah mencapai apa-apa. Padahal banyak orang-orang sekitar yang lebih hebat dariku.
Pengasuhpun ingin melakukan yang terbaik untuk yang diasuhnya. Jangan sungkan-sungkan mengestimasikan hasil kerja kerasmu untuk mereka, meskipun hanya berupa waktu.
Entah sejak aku umur berapa bulan, ibu menitipkan aku kepada seorang perempuan tangguh bernama Mbok Yem. Ibu masih mempunyai kerja sampingan waktu itu, yaitu membuat kue caramel, sus, bolu, dan lain-lain. Saat itu banjir pesanan. Setiap siang ibuku pergi mengajar, sorenya meneruskan aktivitas wirausahanya. Jadi saat itu juga aku maklum kalau harus dititipin. Rumah Mbok Yem satu dusun dengan rumahku. Dekat, 5 menit sampai kalau jalan.
Mbok Yemlah yang setiap hari mengantarku sekolah di TK untuk pertama kalinya. Beliau yang pertama kali melihatku mengacungkan jari dengan segenap keberanian untuk memimpin baris-berbaris dan doa. Beliau juga yang melihatku berlari-lari untuk mendapatkan absensi gambar gajah. Sampai tiba masanya aku sekolah di SD. Masih mbok Yem yang mengantarku :') melihatku maju kedepan membaca "Ini budi" di papan tulis. Mbok Yem juga yang mengambilkan rapotku.
Saat ada yang menyakitiku di sekolah, beliaulah yang sering melindungiku. Bersamanya, aku diajak keliling kebun binatang, purawisata, pantai samas. Iya, mereka selalu meluangkan waktu dan tenaganya untuk membahagiakanku. Hingga aku masih ingat, dulu waktu di pantai sandal beliau hilang keseret ombak. Pulang tanpa alas kaki. Aku menangis tersedu, bukan karena apa-apa, aku hanya kasian. Waktu itu aku sudah sadar mengenai kondisi keuangan simbok. Aku berandai-andai kalau saja aku ini orang kaya, pasti aku bisa beliin sendal yang lebih bagus dari itu. Hihihi.
Simbok punya suami namanya Pak Jono. Anaknya tiga udah gedhe-gedhe, Mbak Mar, Kang Plompong dan Kang Kento. Pak Jono adalah seorang tukang bangunan. Garapannya rapi, pantas saja banyak orang yang memakai jasa beliau. Beliau juga bisa membuat nisan. Nisan almarhumah kakakku juga beliau yang membuatkan.
Pak Jono sering banget membuatkanku mainan. Ayunan kayu, ayunan ban, egrang, ketapel, tembakan bambu sampai rumah pohon. Sering ngajak aku sepedaan keliling desa. Saat panen tebu, beliau sering sekali memetikkan aku glagah, bunga tebu untuk mainan. Pak Jono itu bapak yang asik banget. Mereka berdua adalah orang yang paling bahagia melihat hasil rapotku. Padahal aku ga pernah juara 1. Waktu itu aku masuk lima besar. Di saat orang tua kandungku biasa saja dan membanggakan masku dan mbakku yang selalu mendapat peringkat, di sisi lain simbok dan pak Jono bangga banget dengan hasil akademikku. Aku sering dibelikan es krim contongan, yang dulu masih terbilang mahal. Aku sering diajak ke mana-mana, ke tempat pak Jono kerja. Aku sering iseng ikut ngaduk-aduk semen, bantuin tukang lain bawain adukan semen buat nglepo. 6 tahunan. Simbok adalah seseorang yang banyak kuandalkan sejak kecil.
Sampai saat akhir kelulusan, kelas 6. Akhirnya aku bisa menjadi salah satu siswi yang maju kedepan, dipanggil menerima penghargaan. Saat itu, bukan simbok lagi yang mengambilkan rapor, tapi bapak. Itu bahagia kesekian, saat akhirnya orangtuaku sendiri yang mengambil raport. Dulu mimpi terbesarku bukan juara 1, aku bermimpi orangtuaku sendiri yang mengambilkan rapot dan bisa ngalahin temen sekelas yang bernama Aan udah cukup bagiku. Hahahaha. Dan masih simbok yang menjadi orang terapresiatif waktu itu, dan tetangga-tetanggaku. Sejak kecil bersama simbok aku dibebaskan bersosialisasi dengan siapa saja. Aku banyak belajar kesederhanaan darinya.
Simbok adalah orang yang tak pernah biasa saja denganku. Sekarang beliau masih bekerja di rumahku sebagai buruh cuci, setiap pulang ke rumah aku ndak pernah nyuci. Beruntungnya aku hidup di perantauan, tau rasanya melakukan apapun sendiri ^^ tau rasanya berjuang menjadi insan yang tangguh dan tidak melulu bergantung.
Simbok. Orang yang sampai sekarang masih saja bangga denganku, padahal aku tak pernah mencapai apa-apa. Padahal banyak orang-orang sekitar yang lebih hebat dariku.
Pengasuhpun ingin melakukan yang terbaik untuk yang diasuhnya. Jangan sungkan-sungkan mengestimasikan hasil kerja kerasmu untuk mereka, meskipun hanya berupa waktu.
Komentar
Posting Komentar