Langsung ke konten utama

Cerita

Tanggal dua Januari 2015, saya yang merantau di kota Solo, akhirnya pulang ke kampung halaman. Alhamdulillah.
Ada saja cerita di sepanjang perjalanan, ada saja momen yang membuat "kepikiran", dan ada saja cerita yang membuat pikiran-pikiran itu terjeda.
*Terlepas dari itu semua, saya senang dan tenang di hari itu*

Ya, berawal dari memutuskan semalaman mau pulang kapan, karena jobdesk acara yang saya ikuti sangat "kurang jelas, kurang tegas dan tidak detail" deadline perencanaannya, maka daripada saya gabut, temen kosan sudah pada pulang tinggal tersisa saya, dan mbakyu saya bisa menjemput saya di hari Sabtu esuk hari (jikalau saya jadi pulang), maka saya ingin memutuskan untuk pulang di hari Sabtu, yang mana planning awal adalah hari Senin, saya baru akan pulang.

Paginya saya masih agak ragu. Kenapa-kenapa gag ya kalau saya pulang? Ada hal mendadak yang bakal bikin saya balik secepat kilat ke Solo lagi gag ya? Pulang sekarang banget ((Sebenernya masih belum pengin pulang!))? Kamar masih belum tertata rapi layaknya kamar yang akan ditinggal mudik. Lantai belum dipel, perabotan lain belum di simpan. Buku yang aku penginin juga belum sempat aku beli ((Beli buku di Solo jarak kosan dengan toko buku lebih dekat sekitar 10 menitan, daripada jarak rumah ke toko buku Jogja "30menitan" itupun kalau ndak macet, jadi beli buku di Solo lebih asik dan fleksibel)). Untuk memantapkan, akhirnya aku membuka line dan masuk ke grup acara tersebut yang masih memperbincangkan waktu rapat. Ya, sebelumnya agenda hari Sabtu ini adalah rapat, tapi digrup sepertinya selalu ada perubahan :), saya kurang menyukai itu :). Sudah semakin siang, belum jelas juga waktu rapatnya. Akhirnya, aku bergegas beberes kamar dengan cepat, tak lupa bilang ke Pak Man (penjaga kos yang super baik) untuk mengantarku ke stasiun Balapan dengan becaknya. Ya! akhirnya jam 13.00 aku siap meluncur ke stasiun #alay.
Menikmati perjalanan di becak adalah hal yang menyenangkan, guys, sungguh!^^
Pelan, tapi pasti.
Ya, akhirnya sampai di stasiun. Dan you know, antriannya lumayan panjang. Terkadang kalau lagi gag sabar aku berinisiatif nitip orang yang diantrian depan, berhubung lagi agak sabar, dan menghormati yang antri, saya akhirnya terlibat dalam antrian panjang itu. Hap, akhirnya saya mendapat tiket Madiun Jaya, jam 15.00, tanpa tempat duduk.  Alhamdulillah, disyukuri saja, yang penting bisa pulang dan sampai rumah dengan selamat.
Menunggu. Bagiku itu bukan kata kerja yang baru aku temui, jadi ya biasa aja. wkwk. Biar ndak bosen, aku membuka surat cintaNya sebentar untuk sekedar membaca arti yang belum sempat kubaca. Kemudian melanjutkan dengan membaca buku yang baru kemarin kubeli di Gramedia Solo Square.
Karena menunggu, maka ketika yang ditunggu hadir, selesailah. Duh, senangnya. Aku berdiri meninggalkan tempat penantian tadi, dan berjalan menuju pengecekan tiket sembari berpikir,"Madiun Jaya, biasanya kursi nomor 1A dan 1B di gerbong satu ada kursi bebas plot". Itu mengapa aku langsung menuju gerbong satu menuju kursi itu. Alhamdulillah, ternyata sudah ada yang nempatin. Tanpa pikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk berdiri (ya emang harus berdiri sih sebenarnya).

Di sepanjang perjalanan. Ada seorang wanita muslim, setinggi aku, bertanya, "Mbak asli Solo?".
Pertanyaan tersebut menjadi awal perkenalanku dengan seorang teman bernama Eka Barokah. Alhamdulillah, perbincangan yang seru dan dalam, cukup membantuku menjeda sejenak pikiran yang beberapa menit lalu lumayan menguras segala perasaanku.
"Eh iya, nama kamu siapa?" selaku dalam perbincangan kami yang sudah cukup panjang. Bagiku berinteraksi dengan orang baru tanpa tau nama dan apapa aja tentangnya adalah hal yang rugi banget.
"Namaku Eka, mbak namanya siapa?"
"Galih", dia tertawa lepas.
"Hehehehe, iya nih, gag biasa ya namanya?" aku ikutan menertawakan namaku sendiri.-.
Eka mahasiswa jurusan arsitektur di salah satu perguruan swasta di Jakarta, sekaligus seorang karyawan di sebuah perusahaan kontraktor. Banyak hal yang kudapatkan dari cerita-cerita kami dalam perjalanan menuju Jogja. Keprihatinan, keyakinan, perjuangan, keceriaan, dan pengabdian tulus untuk orangtua. Jadi semakin mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikan padaku selama ini.

Alhamdulillah tanpa terasa pegal dan capek (bo'ong banget) akhirnya kereta berhenti di stasiun lempuyangan.
Tak lupa menutup pertemuan kami dengan saling bertukar kontak dan mengucap salam^^.

Sampai Jogja jam 16.15, pas dengan yang tertera di tiket.
"Mbak, aku dah sampai di lempuyangan." aku mengabari kakak perempuanku via sms (short message service).
"Ya, nok. Ditunggu 15 menit lagi ya, ini kejebak macet." bales kakakku semenit kemudian.
"Ya, aku tak ashar dulu ya."
"Ya, nanti u keluarnya lewat pintu yang barat ya."
"Yuuhuuu~ " balasku.

Kemudian, aku melangkah menuju mushola sebelah timur untuk ibadah shalat Ashar. Sebenarnya ini yang ingin saya ceritakan. Ada kejadian yang cukup bikin ((((((baper)))))).
Selesai shalat Ashar, tepatnya setelah salam.
"Ibu, ibu." Tiba-tiba ada Mbak-mbak  menepuk pundakku, dan akupun menoleh tanpa merasa aku adalah ibu-ibu-__-.
"Ibu, ibu, kalau Ashar boleh dijama' dengan magribh gag?" tanya dia kepadaku.
"Tidak, mbak." Jawabku.
"Terimakasih, Bu." jawabnya penuh dengan rasa percaya padaku.
"Iyaaaa~" jawabku riang. #Trusyangbikinbaperapa?

Ya ampun,  kayak anak lagi nanya ke ibunyah!! Berasa menjadi ibu semenit.
Gag nding, bukan itu.
Lagi-lagi, Allah SWT menguji hambanya melalui pertanyaan yang disampaikan oleh mbak-mbak itu :)
Hayoo, pada tau jawabanku bener apa gag?
Shalat Jama' itu apa dan bagaimana?
Ya, setelah hal itu terjadi aku jadi mikir sambil mengingat-ingat materi SMP tentang shalat Jama'.
Sepengetahuanku, Shalat jama' merupakan Shalat yang dikumpulkan. Adapun, shalat yang dijama' sudah ditentukan, yaitu Dhuhur&Ashar, sedangkan Magribh&Isya'. Ada dua cara, yaitu Jama' taqdim dan ta'khir, taqdim di awal ((misal dhuhur dan ashar, jama'nya dilakukan di waktu dhuhur)) dan ta'khir di akhir, dan biasanya orang yang memenuhi syarat untuk menunaikannya adalah musafir. Sementara itu yang aku ingat.

Maka ketika ditanya begitu aku menjawab, tidak.

Cuma ditanya begitu, tapi berasa banget kalau lagi diuji, kalau diminta lagi buat lebih memantapkan ilmu-ilmunya sama Allah :'), kalau diminta lagi untuk selalu mengupgrade maupun mengupdate ilmu-ilmu agamaNya. Setelah sampai rumahpun, aku masih meyakinkan bahwa jawaban itu benar dengan membuka kembali tuntunan shalat. Alhamdulillah, benar :)

Yuk, persiapkan diri sebaik mungkin agar Allah semakin yakin bahwa kita pantas dicintai olehNya.

Ah, selalu ada kesan disetiap perjalanan yang kita tempuh. Jangan lupa ambil hikmahnya.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Review Film Al-Ghazali Kimia Kebahagiaan

Data / Identitas Film : Judul Film                               : Al-Ghazzali Kimia Kebahagiaan Oleh                                        : Ovidio Salazar Pemeran             : Ghorban Nadjafi sebagai Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Dariush Arjmand sebagai Nizam al-Mulk Robert Powell sebagai Pengisi Suara Al-Ghazali Mitra Hajjar sebagai istri Ghazali Abdol Reza Kermani sebagai Ahmad Ghazali Muhammad Poorsattar sebaga Sufi Guardian Ali Mayani sebaga Magician “Kita datang ke dunia ini lalu meninggalkannya, sejauh itu sudah pasti kurasa.   Jalan tempat kit...

Y?

 (Line) "Ka Galih.." seorang adik dari jauh sana, dari Semarang lebih tepatnya. Siang-siang menghubungiku yang sedang asik menulis layar leptop. "Y?" jawabku singkat. Kemudian aku menengok hp lagi. Aku tersenyum tipis. Dia hanya ngeread. Bukan masalah. *** "Ka Galih.." "Ka Galih marah?" "Astagfirullah, kenapa mikir gituuh?" "Kirain marah." "Enggak marah kok. Kenapa sih emang?" "Abis jawabnya cuma Y" "Ckakakakakaa, ya ampun. Maaf deh kalau aku jawabnya singkat." Untung ya, dia bersegera tabayyun, bisa-bisa aku jadi orang yang no problem kalau di mata kuliah teknik konseling, padahal ada yang ngira aku marah gara-gara gaya chat. Sebenarnya ga hanya gaya chat, sekarang cuma diread doang, trus balesnya lama, dan lain-lain bisa bikin orang lain bete . Tapi, aku yakin pertemanan ga sesempit itu, bukan?