Langsung ke konten utama

Memahami Kesetiaan

Saat menyematkan kata awal dalam tulisan ini, aku menghela napas tipis. Ada hal yang begitu berat. Tak mampu diamati dari fisik. Karena ini tentang dunia kecil, yang diibaratkan sebagai manusia di mana jiwa menjadi penggeraknya. Jiwa berada di dalam diri, tak semua orang mampu mengerti. 
"Kalau diri sendiri mampu dong mengerti jiwanya?"
"Belum tentu."
"Gag bisa gitu, aku tau apa isi hatiku, isi dari jiwaku."
"Tapi saat ini kamu pasrah, kedua bola matamu memerah. Kamu memaksakan dirimu untuk mencapai  sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Ibaratkan kamu adalah bunga sedap malam yang terbiasa hidup di daerah dingin, kemudian kamu ingin hidup di Solo yang lumayan panas misalnya. Mungkin sesekali kamu bisa bertahan, tapi karena pada dasarnya kamu butuh suhu dingin, keadaan membuatmu layu, kering dan mati. Keinginanmu itu mewujud beban, karena dalam meraihnya, kau lupa mencintai diri sendiri."

Kurang lebih seperti itulah percakapanku dengan seseorang yang sekarang masih setia bercakap dengan kekurangan dan kelebihanku. Dialah satu-satunya orang yang menyadari defense mechanism-ku.  Di saat orang lain bilang, "Dia itu memang begitu orangnya.", "Hemm, kebiasaan.". Di saat orang lain meremehkan, mencaci, mengumpat, mengeluhkan dan men-judge habis-habisan sertaa tak mau tau. Dialah satu-satunya yang bilang, "Aku tau, kamu sedang berproses. Tapi kamu tidak bisa menyeberang dengan kaki di sungai yang dalam, kamu membutuhkan perahu ataupun rakit. Kamu butuh MEMAHAMI cara menjalankannya, kamu butuh gelombang air sungai untuk kemudian membawamu ke seberang. Aku khawatir kamu akan tenggelam, jika tidak memahaminya." Dialah yang mau-maunya mengarahkan, dan tidak membiarkan aku sendiri dalam menggali hikmah di setiap episode.

Sebuah kebermanfaatan yang kita bagi kepada orang lain, percayalah sedikit demi sedikit akan menambal lubang kesakitan di dirimu. Karena setelah berbagi itu, rasanya bahagia. Kebahagiaan yang tak semua orang merasakan, kecuali ia telah mencobanya, sebab disematkan langsung pada jiwa kita oleh Yang Maha Kuasa. Aku tak menolak pernyataan bahwa saat kita telah berpisah dengan teman yang dulu sempat bersama lama, maka akan cenderung lebih fokus dengan teman yang sekarang, hal yang membingkai persepsi tentang "Dilupakan atau Melupakan." Sesungguhnya intensitas kehadiran seseorang di sisi kita memiliki kontribusi yang cukup besar dalam hal keterikatan emosional yang baik dan dalam, secara fisik maupun psikis. Dalam siklus hubungan interpersonal hal tersebut ada pada tahap intensifying. Kamu merasakan siklus ini saat intensitas interaksi dengan teman, sahabat atau pasangan semakin banyak, komunikasi semakin tinggi, dan merasa akrab serta lekat, apa yang kamu bicarakan bukan lagi tentang dunia luar melainkan dunia dalam dirimu,perasaanmu misalnya, hal yang tidak mudah kamu simpan ke sembarang orang. Saat kamu merantau, ada sebuah pembatasan yang datang tanpa disadari. Hal yang membuat kita merasa sangat jauh dengan teman, sahabat dan orang yang dulu selalu ada di sekitar. Untuk menghindar dari sebuah jarak yang jauh, butuh komunikasi yang lebih intens, namun terkadang bahkan dirimu sendiri tidak menjamin waktu luang untuk itu. 

Sudah terhitung tahun, aku tidak menghubungi seseorang, bahkan saat pulang aku sudah jarang main ke rumahnya, diapun. Terkadang aku datang hanya saat ingin minta tolong, diapun. Namun ternyata, itu tidak membuat kami mengalami keterpisahan. Kami masih sangat dekat, dari tahun di mana kami mengucapkan mimpi masing-masing "Sepuluh tahun lagi aku akan bla bla bla..". Sampai saat ini sepuluh tahun sudah terlampaui. Ternyata kami sama-sama tau, dunia yang sedang dihadapi masing-masing dari kami. Hal yang membuat kami tidak pernah ngambek kalau sms/wa bahkan telefon slow respon. Hal yang membuat kami tidak merasa tidak diprioritaskan. 

Sedikit demi sedikit aku memahami kesetiaan. Kesetiaan itu bukan hanya tentang intensitas fisik,dan  komunikasi yang sering, dua hal yang mungkin sering dituntut oleh pasanganmu. Namun, kesetiaan itu adalah tentang menerima. Kekonsistenan seseorang dalam menerima kehadiran kita dalam hidupnya, setelah mungkin bertahun-tahun tak jumpa, berhari-hari sering menyakitinya, berabad-abad menjadi korban kekurangan serta khilaf kita, itu yang kupahami dari sebuah kesetiaan.

Teruntuk diriku sendiri dan mungkin kamu, terimakasih atas kesetiaan yang diberi. :)
Semoga berakhir di JannahNya. Amin.





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Review Film Al-Ghazali Kimia Kebahagiaan

Data / Identitas Film : Judul Film                               : Al-Ghazzali Kimia Kebahagiaan Oleh                                        : Ovidio Salazar Pemeran             : Ghorban Nadjafi sebagai Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Dariush Arjmand sebagai Nizam al-Mulk Robert Powell sebagai Pengisi Suara Al-Ghazali Mitra Hajjar sebagai istri Ghazali Abdol Reza Kermani sebagai Ahmad Ghazali Muhammad Poorsattar sebaga Sufi Guardian Ali Mayani sebaga Magician “Kita datang ke dunia ini lalu meninggalkannya, sejauh itu sudah pasti kurasa.   Jalan tempat kit...

Y?

 (Line) "Ka Galih.." seorang adik dari jauh sana, dari Semarang lebih tepatnya. Siang-siang menghubungiku yang sedang asik menulis layar leptop. "Y?" jawabku singkat. Kemudian aku menengok hp lagi. Aku tersenyum tipis. Dia hanya ngeread. Bukan masalah. *** "Ka Galih.." "Ka Galih marah?" "Astagfirullah, kenapa mikir gituuh?" "Kirain marah." "Enggak marah kok. Kenapa sih emang?" "Abis jawabnya cuma Y" "Ckakakakakaa, ya ampun. Maaf deh kalau aku jawabnya singkat." Untung ya, dia bersegera tabayyun, bisa-bisa aku jadi orang yang no problem kalau di mata kuliah teknik konseling, padahal ada yang ngira aku marah gara-gara gaya chat. Sebenarnya ga hanya gaya chat, sekarang cuma diread doang, trus balesnya lama, dan lain-lain bisa bikin orang lain bete . Tapi, aku yakin pertemanan ga sesempit itu, bukan?