Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016
"Duhai yang terpenjara dalam lubuk, tak terbaca oleh mata dan tak terdengar oleh telinga. Berikan saja apa yang ingin kau beri, tak usah dibungkus dengan apapun. Suatu saat nanti, kau akan tau sendiri bagaimana cara membungkusnya, tak akan kesulitan seperti sekarang. Saat ini, mulailah membagi apa yang ingin kamu bagi, biarlah dulu mengalir apa adanya :)"

Hadiah untuk November

Duhai, Rasa Cinta: Bersabarlah “Bay, kamu ga ke kantin dulu?” Sapaku kepada Bayu. Bayu adalah teman kecilku. Kulitnya sawo matang, rambutnya lurus, perawakannya sedang tidak tinggi tidak pendek. Sama sepertiku, bedanya hanyalah pada perawakan dan nama kami saja. Tingginya sedang sementara diriku pendek. Aku Esa, sedangkan dia Bayu. Rumah kami juga berdekatan. Selain itu kami sama-sama anak ke lima dari enam bersaudara. Sejak kecil kedua orang tua kami bersahabat. Dunia persahabatan mereka meregenerasi pada kami. Belakangan ini sikap Bayu tidak seperti biasanya. Ia menghindar jauh dariku. Bagaimana aku tidak merasa kehilangan? *** Desa Kemuning dibungkus oleh perkebunan teh yang terbentang luas di kanan kiri jalan. Daun teh di setiap tangkai tanamannya menuang kehangatan dalam dingin. Embun timbul di atasnya dan merekamku yang sedang berjalan mendekat. Akulah yang konon bilang kepada Ibu, “Aku mencintai pagi.”   Hal yang membuatku tak segan melipat selimut di pagi b...
Penguat itu adalah dia yang mampu membuat dirinya hadir saat sebelumnya sungguh tak berpikir ingin hadir. Siapa yang ingin setiap harinya ditanyai tentang pekerjaan-pekerjaan dan pekerjaan. Diingatkan tentang pekerjaannya. Diminta untuk menelisir kata kerja. Tentu sebagian besar akan menjawab tidak ingin. Karena itu melelahkan sekali. Seseorang harus punya waktu untuk beristirahat. Setidaknya menjeda sejenak untuk memikirkan dan melakukan hal-hal yang ringan dan dia sukai.  Tapi tidak semua sependapat dengan itu. Bagi kaum profesional, banyaknya amanah yang telah diterima berbanding lurus dengan kesadaran akan konsekuensinya. Jarang ada yang menimbang bagaimana kondisi tubuh,pikiran dan apa yang dibutuh serta apa yang sedang diingin. Jarang ada yang memahami bagaimana beban kerja dan seberapa banyak hal yang harus dilakukannya, sebelum hadir 'permintaan'. Wajar jika ada beberapa orang yang mencari 'rumah'. Tempat yang tenang dan nyaman. Atau menghilang, mengizink...

Syukur

Apa yang pupus dalam dirimu Yang membuat mata buta padahal terbelalak Apa yang terluka dalam dirimu Yang membuat kepalamu berat, hati enggan merasa dan kaki malas bertindak Apa yang hilang dalam dirimu Yang membuat cinta, rindu, kasih sayang dan tenang kau biarkan jauh merangkak Apa yang salah pada dirimu? Yang membuatmu mencoret setiap langkah yang berjejak Apa?

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Dari Mana Jiwa Puisimu?

Tulisan itu mengalir. Jiwanya tak melulu milik penulisnya. Raganya bisa jadi meminjam ragamu. Jadi, jangan terlalu yakin jika sajaknya teruntuk penulisnya sendiri, Bisa jadi jatinya adalah jatimu Kemudian meminjam tangannya untuk mewujud aksara Pada intinya, menulis itu bebas. Tak harus menulis apa yang sedang kamu rasakan, boleh saja menulis apa yang orang lain rasakan (^^) awas hati-hati, jangan sampai 'terjebak'.

Di Angka ke Sebelas

Rayakanlah hari mu pada angka ini Kau tak berhasil menangkap senyuman merah jambu Yang saat kau ada, senyuman itu semakin memerah dan mengembang Kau tak sadar siapa dirimu di mataku Kau pun tak bertanya Kau tak berhasil merasakan bahagia yang kurasakan, Tak pula mampu mengerti caraku memaknai hadirmu Kau tak berhasil memahami bahwa kau berharga, bagiku  Kau, Kau tak perlu memaksa diri tuk mengosongkan bagian dari hatimu untuk mengusahakan keberhasilan itu Relakan saja aku hidup bersama makna yang barangkali jika kau tau, kau akan meluruskannya Biarkan saja aku menemukan jawaban tentang segala tentangmu sendiri Terima saja jika suatu waktu aku menyadari ketidakberadaanku di hatimu Rayakanlah harimu pada angka ini, Kau telah berhasil membuatku percaya, Bahwa aku tak ada lagi Pergilah, Tak usah kau pikirkan lagi apa yang telah terjadi Perasaanmu Perasaanku Akan menemukan cintanya sendiri

Mengapa Malam itu Gelap?

A: "Mengapa malam itu gelap?" Seseorang bertanya padaku. B: "Karena saat mewarnai, aku cuma punya pulas hitam." A:"Mengapa malam itu gelap?" Tanya dia lagi. Kali ini sedikit serius. B:"Itu PR mata kuliah apa sih?" 👀 A:"Mengapa? Jawab!" B:"Karena tidak ada sinar di sana." jawabku A:"Nah, biar malam punya sinar, gimana kalau kita saling mempersiapkan diri, kamu bintang aku bulannya?" B: Nyari kunci jawaban --"

Tentang Dingin Ini

Sebentar lagi, hujan akan menghapus jejak langkah yang datang dan pergi Debu akan kembali ke tanah Aku berkemas, melipat jarak Biarlah Tuhan yang Menjadi Saksi Dingin siapa yang menghangatkan Dinginnya es atau dinginmu Dinginnya iman atau harapan Dinginnya cintaNya atau ketaatan duniawi Sebentar lagi, hujan akan menghapus jejak langkah yang datang dan pergi Debu akan kembali ke tanah Aku berkemas, melipat jarak Dan membentangkannya kepada kepastian Ilahi

Memahami Kesetiaan

Saat menyematkan kata awal dalam tulisan ini, aku menghela napas tipis. Ada hal yang begitu berat. Tak mampu diamati dari fisik. Karena ini tentang dunia kecil, yang diibaratkan sebagai manusia di mana jiwa menjadi penggeraknya. Jiwa berada di dalam diri, tak semua orang mampu mengerti.  "Kalau diri sendiri mampu dong mengerti jiwanya?" "Belum tentu." "Gag bisa gitu, aku tau apa isi hatiku, isi dari jiwaku." "Tapi saat ini kamu pasrah, kedua bola matamu memerah. Kamu memaksakan dirimu untuk mencapai  sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Ibaratkan kamu adalah bunga sedap malam yang terbiasa hidup di daerah dingin, kemudian kamu ingin hidup di Solo yang lumayan panas misalnya. Mungkin sesekali kamu bisa bertahan, tapi karena pada dasarnya kamu butuh suhu dingin, keadaan membuatmu layu, kering dan mati. Keinginanmu itu mewujud beban, karena dalam meraihnya, kau lupa mencintai diri sendiri." Kurang lebih seperti itulah percakapanku dengan ...

Fiksi: Sejenak Hening

Hujan jatuh di atas jalanan kota Solo. Derasnya membendung suasana temaram, aku suka nuansa ini.  Semenit yang lalu aku baru saja keluar dari kos Kepatihan Putri, hingga akhirnnya sampai di perempatan Sekarpace menuju arah belakang kampus. Saat lampu hijau menyala, rasanya aku ingin memutar arah. Berbalik arah menuju stasiun kemudian membeli tiket ke Jogja. Hahahaha, untungnya aku tidak seimpulsive itu. Aku terus berjalan menuju belakang kampus sembari menyembunyikan air mataku di balik hujan yang bersamaan mengalir di pipi.  Biasanya aku ke Kentingan hanya untuk beberapa urusan, membeli susu di kedai Mbok Sri, makan, membeli sesuatu dan main ke kosan teman. Namun saat ini, aku hanya ingin menuju dan melewati suatu tempat. Nurul Huda berlanjut ke arah depan Rektorat melewati bukit Kendil yang katanya angker itu. Kampus UNS jam 19.30 sudah lumayan sepi. Hanya ada satu motor di belakang, itupun nyalip, sampai aku benar-benar sendirian menyusuri jalanan menuju Rektorat. Aku ...