Saat menyematkan kata awal dalam tulisan ini, aku menghela napas tipis. Ada hal yang begitu berat. Tak mampu diamati dari fisik. Karena ini tentang dunia kecil, yang diibaratkan sebagai manusia di mana jiwa menjadi penggeraknya. Jiwa berada di dalam diri, tak semua orang mampu mengerti. "Kalau diri sendiri mampu dong mengerti jiwanya?" "Belum tentu." "Gag bisa gitu, aku tau apa isi hatiku, isi dari jiwaku." "Tapi saat ini kamu pasrah, kedua bola matamu memerah. Kamu memaksakan dirimu untuk mencapai sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Ibaratkan kamu adalah bunga sedap malam yang terbiasa hidup di daerah dingin, kemudian kamu ingin hidup di Solo yang lumayan panas misalnya. Mungkin sesekali kamu bisa bertahan, tapi karena pada dasarnya kamu butuh suhu dingin, keadaan membuatmu layu, kering dan mati. Keinginanmu itu mewujud beban, karena dalam meraihnya, kau lupa mencintai diri sendiri." Kurang lebih seperti itulah percakapanku dengan ...