Langsung ke konten utama

Potongan Hati di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido

"Karena setiap pemilik sayap yang patah, jika Tuhan berkehendak, dia akan tetap terbang."

Narkoba seolah menjadi dermaga bagi ia yang kesepian, gundah, nestapa tanpa perhatian serta kepedulian seseorang yang diinginkannya. Diinginkan kepeduliannya, diinginkan perhatiannya, diinginkan pengertiannya dan diinginkan adanya di depan mata. Setiap dari kamu yang datang ke dermaga itu, tentu akan semakin yakin kan sanggup berlayar. Karena awak kapalnya takkan karam, ada perengkuh yang menopang, meskipun fana.

Kini dermaga itu telah memiliki banyak kapal. Di setiap kapal punya nahkoda yang bahkan yakin kapalnya mampu menerjang ombak. Namun tetap akan ada waktu untuk pulang, pabila telah menyadari bahwa sedari dulu ia telah tenggelam. Ia menyadari bahwa dirinya tertipu oleh bajak laut yang menyita segala harta karun kehidupannya. Halusinasi, euforia yang takkan menjadi teman setia.

Tanggal 18 Juli hingga 12 Agustus 2016 diriku diberi hak oleh Allah Ta'ala untuk mewujudkan target nomor 25ku, magang di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido, Cigombong, Bogor. Sebulan awalnya terasa lama, namun menjadi sebentar karenaku terlalu menikmatinya. Udara-udara di sana, dan rahasia-rahasia manusia yang kian lama kian tersingkap. Sekarang aku semakin sadar ukuran-ukuran permasalahan hidup, khususnya hidupku, yang tak seberapa rumitnya dengan kehidupan orang di luar sana. Setidaknya, masih ada banyak jalan yang bisa diupayakan, dibanding hanya terduduk pasrah dengan penipu nikmat dunia. Narkoba, raja bagi ia yang menderita dan putus asa, bingung mau ke mana, takut sengsara dan enggan mati saat itu juga. Dulu aku pernah menangis karena tidak dibelikan sepatu oleh ibu, atau menangis saat ingat ayah ingin menampar pipiku karena aku takut memegang ayam, dulu aku pernah menangis karena dihina seorang teman di depan teman lain, aku pernah menangis karena kehilangan seorang kakak yang sangat aku sayangi, bulik yang sangat kuhormati, aku pernah menangis karena seorang sahabat yang diam-diam membicarakanku di belakang, aku pernah menangis tersedu atas permasalahan yang kuanggap besar. Aku meneteskan airmata yang takkan bisa kubeli bilamana habis. Dulu. Sekarang, betapa aku ingin menyimpan sisa-sisa linangan itu, karena merasa tak perlu menangis lagi untuk hal-hal yang tak perlu kutangisi. Mending kupinjamkan kepada mereka para pecandu yang sudah tak bisa lagi menangis karena telah kehabisan airmatanya.

Aku seperti sedang membuka jendela yang tak pernah dan tak ingin kubuka sebelumnya, namun Tuhan ingin menuntunku ke sana senantiasa untuk mengajariku syukur. Anak-anak seumuranku menjadikan kedekatan dengan orang tuanya sebagai mimpi, pergaulannya pontang-panting tak mengenal rugi yang penting happy. Ibu-ibu seumuran ibuku bercumbu dengan putaw, ganja dan sabu karena bosan dengan kehidupan ini dan menunggu suami yang tak kunjung kembali. Lantas aku ingat ibundaku, yang bahkan tengah malam terbangun hanya untuk membuatkan secangkir kopi untuk menemaniku bergadang. Semakin memahami mereka, semakin ingat nikmat Allah Ta'ala yang telah menyamudera dalam kehidupanku.

Apa yang bisa dikatakan bibir-bibir itu, selain "Percayailah, aku!" Yang tak pernah sumbing meski kerahan upayanya tak jua pernah mendapat satu persenpun kepercayaan. Di depanku, mereka terlihat ceria, sayangnya keingintahuanku mampu menangkap perih-perih itu, luka-luka itu. Di depanku, mereka bercerita tentang mimpi. Mimpi yang terjeda upaya mencapainya, atau telah tercapai dalam ilusi.

Di sini, meski bukan dalam jeruji besi, mereka terpenjara oleh rasa bersalah. Lalu berupaya menyembuhkan segala yang telah terlanjur kalut  untuk membuka jalan terang ke dalam kehidupan yang diimpikannya. Masih diimpikannya. Sementara di luar, ia ditendang-tendang harga dirinya, tak dipercaya, bahkan keluarga terdekat, ayah ibu tak mempercayainya. Memang bejat perilakunya, memang khilaf. Namun, sekarang mereka ada di sana. Tuhan menghendaki mereka berubah menjadi lebih baik.

Binar-binar mata itu kian bersinar mencapai sedikit demi sedikit perubahan. Setidaknya keadaan mereka yang sekarang lebih baik dari keadaan purnama-purnama sebelumnya. Semakin baik, dan semakin mengerti cara menciptakan kebahagiaan yang semestinya. Saat itulah aku yakin, bahwa sayap patah itu akan tetap terbang, jika Tuhan berkehendak! Seharusnyalah para kurir pecandu memerhatikan keinginan dan upaya mereka untuk berubah. Agar semakin terdukung, agar semakin mencintai dan berdamai dengan keras kehidupannya.

Di sana, cinta Allah bertaburan. Menahanku untuk tidak merasa lebih sempurna dari selir-selir narkoba itu. Semakin mensyukuri, karena aku punya kamu, kamu dan kamu.













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Review Film Al-Ghazali Kimia Kebahagiaan

Data / Identitas Film : Judul Film                               : Al-Ghazzali Kimia Kebahagiaan Oleh                                        : Ovidio Salazar Pemeran             : Ghorban Nadjafi sebagai Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Dariush Arjmand sebagai Nizam al-Mulk Robert Powell sebagai Pengisi Suara Al-Ghazali Mitra Hajjar sebagai istri Ghazali Abdol Reza Kermani sebagai Ahmad Ghazali Muhammad Poorsattar sebaga Sufi Guardian Ali Mayani sebaga Magician “Kita datang ke dunia ini lalu meninggalkannya, sejauh itu sudah pasti kurasa.   Jalan tempat kit...

Y?

 (Line) "Ka Galih.." seorang adik dari jauh sana, dari Semarang lebih tepatnya. Siang-siang menghubungiku yang sedang asik menulis layar leptop. "Y?" jawabku singkat. Kemudian aku menengok hp lagi. Aku tersenyum tipis. Dia hanya ngeread. Bukan masalah. *** "Ka Galih.." "Ka Galih marah?" "Astagfirullah, kenapa mikir gituuh?" "Kirain marah." "Enggak marah kok. Kenapa sih emang?" "Abis jawabnya cuma Y" "Ckakakakakaa, ya ampun. Maaf deh kalau aku jawabnya singkat." Untung ya, dia bersegera tabayyun, bisa-bisa aku jadi orang yang no problem kalau di mata kuliah teknik konseling, padahal ada yang ngira aku marah gara-gara gaya chat. Sebenarnya ga hanya gaya chat, sekarang cuma diread doang, trus balesnya lama, dan lain-lain bisa bikin orang lain bete . Tapi, aku yakin pertemanan ga sesempit itu, bukan?