Langsung ke konten utama

Move On Part I : Memandang Positif Kegagalan

"Keberhasilan merupakan suatu proses yang diikhtiarkan, yang waktu hadirnya hanya Allah yang Maha Mengetahui."

Aku pernah mengalami kegagalan, dan menyadarinya saat duduk di bangku SD. Masa kecilku warna-warni, meskipun lebih banyak kuhabiskan bersama pengasuh daripada bapak ibuku sendiri. Pengasuhku ga pernah membatasi diriku untuk bermain. Aku bermain apapun dan kemanapun dengan siapapun. Ayunan, bermain peran dengan teman-teman, dan turut merasakan indahnya bermain tanpa gadget. Kebetulan pengasuhku adalah seorang buruh bangunan. Belia kupanggil bapak. Bisa bikin ayunan dari kayu, dari ban, bisa membuatkan aku egrang, dan beliau juga yang melatihku naik sepeda roda dua, subaru warna ungu.  Terakhir beliau membuatkan aku rumah pohon di pohon manggis Barat rumahku. Bahkan kumemiliki harapan rumahku nanti beliau yang bikin. Karena rumah bikinan beliau selalu rapi, dan kuat. 

Saat kecil dulu aku suka aktivitas yang namanya menyanyi. Setiap guru mengajari lagu baru, kuselalu hapal notnya dan di rumah memainkannya pakai piano mainan. Kasih Ibu, Ibu Kita Kartini, Ambilkan Bulan Bu, O Ina Ni Keke, Tanah Air, dan lain lain. Hingga di bangku kelas lima saat tiba giliranku maju kedepan untuk nyanyi Tanah Air, tetiba wali kelas menunjukku untuk ikut lomba mewakili SD. Beliau berekspektasi besar pada diriku, terlebih kakak perempuanku dulu di SD yang sama pernah juara I lomba puisi. 

Saat itu aku senang karena ini kali pertamaku ikut lomba dan bingung karena tidak memiliki guru buat belajar baca puisi. Mbakku gag mau mengajariku karena bertentangan dengan keyakinannya saat itu. Walhasil aku belajar sendiri. 

Di hari H perlombaan, aku ingat betul saat itu di SD Njigudan Bantul. Aku melihat temen-temen sama ga percaya dirinya sepertiku, hahaha. Tapi ada juga yang membahana, kemudian ada yang sampai kakaknya mbela-mbelain dateng buat mematangkan baca puisinya.

Tibalah saat aku maju, tetiba tubuh ini gemetar tak terkendali, demam panggung kurasakan saat itu. Pengalaman pertama ini tidak membuahkan hasil, memang. Aku tidak bisa membawa pulang juara satu. Namun, aku jadi punya gambaran bagaimana cara temen-temen lain membaca puisi. 

Beranjak di SMP, aku ditunjuk sama temen sekelas buat maju mewakili kelas dalam lomba baca puisi tingkat sekolahan. Lawanku ya temen lintas kelas dan lintas angkatan. Kemudian aku lagi-lagi gagal. Namun, aku dipertemukan sama kakak kelas yang penuh penghayatan dalam membacakan puisi, masyaAllah.

Kemudian saat SMA. Di kelas X, aku coba ikut seleksi lomba baca puisi Bulan Bahasa. Namun lagi lagi aku gagal, tidak terpilih. Kebetulan yang terpilih ada 2 siswa, salah satunya teman sekelasku. Darinya aku belajar bagaimana permainan mata, permainan tangan, posisi bahu harus gimana, dan segala bentuk permimikkan. wkwkwk. Aku pelajari itu semua diam-diam, dalam kegagalan itu. 

Sampai di bangku kelas XI, aku ikut seleksi lomba baca puisi lagi dengan penyelenggara yang sama, Bulan Bahasa. Alhamdulillah, diriku terpilih di seleksi tingkat sekolah mengalahkan anak kelas Cerdas Istimewa. Dan saat itu aku merasakan bagaimana rasanya dilatih secara profesional oleh seorang guru bahasa, namanya Bu Dias. Di hari H lomba, sungguh luar biasa pesertanya. Mereka begitu detail dengan penampilannya, ada yang memakai atribut, ada yang improvisasi dengan lagu, sementara aku waktu itu hanya menggunakan seragam putih abu-abu, dan puisi karya sendiri yang masih abal-abal. 

Saat itu, walaupun aku tidak masuk 5 besar, aku puas dan bersyukur telah sampai tahap ini. Aku berhasil mengalahkan diriku yang dulunya demam panggung menjadi sepercaya diri itu dalam pentas puisi. Aku juga punya banyak kenalan orang-orang yang lihai baca puisi. 

Dan di saat-saat itu, juga tersisipkan kisah bersama dua temanku. Kami satu tim di MSQ. Aku mendapat bagian sari tilawah, membaca terjemahan Al-Qur'an. Berjuang dari perlombaan lintas kelas lintas angkatan. Di tahun pertama, kami mendapat juara 2, kemudian di tahun kedua meraih juara pertama dan terpilih untuk mewakili sekolah maju ke tingkat kecamatan. Dan Qadarullah kami mendapat juara 2 sekecamatan dari beberapa SMA. 

Setelah lulus, aku rindu dengan kompetisi-kompetisi itu. Pada akhirnya di perkuliahan terakhirku aku menemukan lomba MSQ tingkat nasional di Undip. Aku masih bisa membayangkan bagaimana rasa senangku waktu itu, yang kemudian mendorongku untuk ikut padahal belum terpikirkan dengan siapa aku akan maju. Entah mengalir begitu saja, aku menemukan seorang partner yang kelihaian dalam publik speaking-nya tak diragukan lagi untuk menempati posisi menjadi pensyarah, kemudian menemukan qori', dia adik tingkatku sendiri. Tidak hanya sampai sini tantangannya. Masalahnya kedua temenku ini belum begitu tau MSQ itu bagaimana, alhamdulillah youtube begitu membantuku dalam menjelaskan. Tantangan selanjutnya adalah naskah. Siapa nih yang mau bikin naskah? singkat cerita temenku yang menjadi pensyarah-lah yang membuat naskah. Alhamdulillah, naskah yang dia bikin, masyaAllah, indah. 

Persiapan kami tidak seadem ayem yang dibayangkan orang-orang. Ada drama di antara kami, yang tak lain dan tak bukan adalah buah dari kekhilafanku sendiri. Itu kali pertamanya aku merasa bersalah karena membuat temanku menangis. Aku tidak ingin membela diri saat itu karena kuakui aku memang salah telah membuatnya menunggu begitu lama dengan kegiatan2ku yang beruntun saat itu. Afwan jiddan!! he he he. 

Rancangan MSQ di benakku itu ada pengantar semacam lagu atau pantun gitu, tapi kok ya saat itu agak susah menemukan celah buat mengarang. Akhirnya kita fokus latihan. Setiap ketemu alhamdulillah ada progres, meskipun tetep ada ketawa ketiwinya..wkwkwk. 

Setelah kita merasa siap, akhirnya datang tantangan selanjutnya. Kami mencari orang buat bisa menvideo kami, tapi ternyata orang-orang lagi pada sibuk. Sedih sih sebenernya, karena merasa tidak diperhatikan gitu deh ceritanya. wkwkwk. Tapi semangat tak patah hanya karena itu semata. "Yowes, sing penting kita dapat pinjaman kamera dan tripod" mantap kita yang akhirnya take action bertiga tanpa bantuan siapapun. wkwkwk. 

Video sudah jadi. Kebetulan sistemnya adalah like n dislike. Jadi meskipun orang-orang tidak banyak terlibat dalam persiapan tadi, kami terbantu dalam mempublikasikan dan memperoleh like untuk video kami. Alhamdulillah kami terseleksi dan masuk 5 besar. Singkat cerita kami berhasil meraih juara 2, membawa pulang piala, sejumlah uang, dan pengalaman yang begitu berharga. 

Jadi, cara pertamaku move on dari sebuah kegagalan adalah menjadikan kegagalan tersebut sebagai suatu hal positif yang membelajarkan dan mengubah kita untuk jadi pribadi yang lebih maju. Belajar mengikhlaskan, mengevaluasi diri, menghadapi, dan pembelajaran-pembelajaran lainnya. 

"Keberhasilan itu tentang menuntaskan tantangan, bukan mengeluhkan hambatan."
Selamat mencoba move on dari kegagalan versi dirimu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Review Film Al-Ghazali Kimia Kebahagiaan

Data / Identitas Film : Judul Film                               : Al-Ghazzali Kimia Kebahagiaan Oleh                                        : Ovidio Salazar Pemeran             : Ghorban Nadjafi sebagai Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Dariush Arjmand sebagai Nizam al-Mulk Robert Powell sebagai Pengisi Suara Al-Ghazali Mitra Hajjar sebagai istri Ghazali Abdol Reza Kermani sebagai Ahmad Ghazali Muhammad Poorsattar sebaga Sufi Guardian Ali Mayani sebaga Magician “Kita datang ke dunia ini lalu meninggalkannya, sejauh itu sudah pasti kurasa.   Jalan tempat kit...

Y?

 (Line) "Ka Galih.." seorang adik dari jauh sana, dari Semarang lebih tepatnya. Siang-siang menghubungiku yang sedang asik menulis layar leptop. "Y?" jawabku singkat. Kemudian aku menengok hp lagi. Aku tersenyum tipis. Dia hanya ngeread. Bukan masalah. *** "Ka Galih.." "Ka Galih marah?" "Astagfirullah, kenapa mikir gituuh?" "Kirain marah." "Enggak marah kok. Kenapa sih emang?" "Abis jawabnya cuma Y" "Ckakakakakaa, ya ampun. Maaf deh kalau aku jawabnya singkat." Untung ya, dia bersegera tabayyun, bisa-bisa aku jadi orang yang no problem kalau di mata kuliah teknik konseling, padahal ada yang ngira aku marah gara-gara gaya chat. Sebenarnya ga hanya gaya chat, sekarang cuma diread doang, trus balesnya lama, dan lain-lain bisa bikin orang lain bete . Tapi, aku yakin pertemanan ga sesempit itu, bukan?