Aku ingin jujur pada diriku. Tanpa manipulasi dan represi. Sebut saja aku dengan ia.
Rindu sering menguasai dirinya. Bahkan saat ia sadar bahwa ini tak boleh dibiarkan. Memang bukan salah rindu salah ia dalam menyikapi. Sebagai penganut humanistik, aq sering membebaskan perasaannya agar bebas tak tertekan.
Ia rindu sekali dengannya. Meski dia tau memang belum semestinya. Aku tak kuasa menahannya untuk tak rindu. Siapa lagi yang bisa membebaskannya selain aku?
Ia bingung saat rindu. Bingung. Meski tau tempat terbaik dalam bercerita adalah kepada Rabbnya. Kepada pemilik hati seluruh manusia.
Ia rindu pada seseorang. Rindu sekali. Rindu saat2 ia dihibungi olehnya. Senyum-senyum takut, karna sadar bahwa belum waktunya untuk bersua. Rindu hal hal random yang tak disangka dilakukan olehnya. Apalagi saat saat seperti ini. Teman-temannya mulai jauh, bahkan tak ada yg menanyakan kabarnya. Saat mulai membutuhkan.
Ia rindu, sambil memungkiri seseorang itu mungkin sudah meniadakannya.
Ia rindu, karna tak kuasa lagi mengulanginya.
Ia tak ingin menunggu. Tak ingin ditunggu. Tak ingin bereuforia dengan bahagia fana. Oleh sebab itu lebih baik merindu saja. Daripada mengulangi hal yang jelas salah.
Ia mencari penguatan. Namun ternyata yang lain tak ubahnya. Ada yang menunggu. Ada yang berinteraksi bahkan berdua-duaan dalam satu kendaraan. Semakin dekat semakin ia tak kuat. Ia harus pergi. Dan memilih pergi agar lebih kuat.
Sekarang ia rindu. Sekarang ia butuh. Sekarang ia hanya bisa terduduk lesu, menghubunginya via doa.
Ia tak ingin berharap. Ia ingin berserah.
Ia tau itu. Ia sadar itu.
Namun ia resah. Ingin berkata sudah.
Komentar
Posting Komentar