Menjadi mahasiswa tingkat akhir awalnya menyenangkan. Aku bebas dari rutinitas perkuliahan yang sangat membosankan karena gaya mengajarnya begitu-begitu saja. Presentasi-pulang. Bahkan aku hampir hapal bagaimana pola masing-masing dosen mengajar. Di akhir semester ini sebenarnya aku begitu tertarik mata kuliah TAT, mata kuliah tentang rehabilitasi, terapi humanistik, hanya karena aku tidak yakin aku mengubur keinginan itu. Sebenernya aku sadar bahwa luasnya ilmu pengetahuan itu bukan bergantung dosen, tapi kemauan diri. Kamu tidak salah kalau berpendapat seperti itu. Namun, bagiku itu tidak 100% dari diri sendiri. Bagaimana dosen ambil bagian memberi asupan ilmu kepada mahasiswanya sangat memengaruhi niat kita belajar. Silahkan dibuktikan sendiri. Aku lumayan sering berdiskusi receh dengan beberapa rekan, yang hasilnya seserius ini. Ceritanya, rekanku sudah lulus dan hijrah di jenjang S2 di kampus terbaik di Jogja. Ia menceritakan banyak hal, dari bagaimana dosen mengajar, memotivasi, menantang hingga bagaimana sebuah fakultas mengembangkan budaya literasi juga penelitian mahasiswa dengan strategi yang cukup seru! Realitanya, memang seru. Hal tersebut turut andil dan menjadi faktor produktivitas jurnal karya mahasiswa di universitas tersebut. Jangan heran jika banyak jurnal telah dihasilkan di universitas tersebut. Saking takjubnya, aku berikrar pada diri sendiri, jika aku diterima di sana aku akan ikut terlibat di bagian research center universitas tersebut, kemudian aku bagikan virus baik ini kepada adik-adikku atau anakku kelak. Rekanku yang lain, di universitas yang sama, menceritakan bagaimana dosen begitu menjaga amanah utamanya, yaitu mengajar. Menunda rapat untuk mengajar dulu. Bolak-balik Jakarta Jogja hanya untuk kelas 2 sks. It is so amazing! MasyaAllah.
Selain itu, revolusi 2017 dalam menjalani kehidupan semester akhir adalah menambah pengalaman menjadi asisten dosen. Namun sayang sekali, ketika kesempatan itu datang aku tidak mengambilnya. Alasannya satu, takut tidak amanah. Takut tidak amanah kepada dosen terkait, kepada diri sendiri, juga kepada orang tua. I know me so well. Aku mengerti di mana letak kelalaian dan kemalasanku ketika dalam posisi tertentu. Untuk sekarang aku begitu ingin mewujudkan harapan ibu dan bapak yang ingin sekali aku lulus sebelum semester 9. Meskipun aku sering bilang kepada mereka jika aku kemungkinan besar lulus di semester 9. Iya, benar, aku telah banyak menolak banyak hal yang menyenangkan karena skripsi. Itu sangat disayangkan. Banyak orang yang bisa melakukan banyak hal sembari skripsian. Tapi untuk hal ini aku benar-benar paham, bahwa aku belum mampu. Dan aku tidak ingin menambah beban kepada diri sendiri dengan terlalu memaksanya agar mampu.
Pokoknya banyak hal yang ingin kulakukan saat menjadi mahasiswa tingkat akhir yang sudah tidak mengambil mata kuliah apapun ini. Tapi ternyata tidak seringan itu. Ekspektasi memang sering bertentangan dengan realita.Itu sebabnya aku setuju sekali dengan wejangan seorang ketua organisasiku dulu, seperti ini,
Jika kamu kecewa, jangan salahkan orang lain. Itu semata karena kau menjadi korban ekspektasimu. Maka, jangan mudah berekspektasi terhadap segala hal khususnya manusia.
Itu wejangan yang begitu mudah terinternalisasi dalam diri. Sangat mudah kuingat. Hingga, memengaruhi alam bawah sadarku. Otomatis saja kuterapkan. Tidak hanya dalam hubungan interpersonal, namun juga intrapersonal. Ini cara agar kamu tidak mudah kecewa, "jangan berekspektasi".
Aku sudah tidak terlalu banyak mengikuti aktivitas. Aku tidak ambil bagian menjadi pengurus, aku hanya menjadi voluntir di suatu komunitas. Itu saja kegiatan selinganku saat ini. Melingkar rutin dengan teman ngaji di NH setiap selasa pagi, dan dengan teman di Bantul setiap kamis sore. Itu saja. Namun rasanya belum cukup mudah untuk menyelesaikan skripsi.
"Pak, hari ini aku mengajukan judul, dan judulku diterima." Aku menelvon bapak, ingat sekali saat itu aku di depan gedung 8 lantai, mengenakan seragam Seminar Psikologi Islam. tanggal 9 Oktober 2016.
Bapak menyambut berita itu dengan rasa senang yang cukup. Beliau banyak mendukungku secara mental dan spiritual. Mulai dari menanyakan sampai BAB berapa, bagaimana dosennya, kapan keperpus lagi buat mengerjakan revisi, dan menawarkan banyak solusi untuk hambatan-hambatanku. Itu cukup menjadi motivasi yang besar. Apalagi ibu yang tiba-tiba menawarkan aku liburan di luar kota, tapi setelah aku lulus.
Tidak, Aku tidak sedang sedih. Aku hanya ingin kamu tau, bahwa apapun ujian skripsi yang kamu hadapi, hadapi saja, dan niatkan untuk berbirul walida'in. Kelulusanmu bukan hanya cita-citamu semata, orang tua kita pun memiliki cita-cita yang sama.
Selamat Menyelesaikan Skripsi, semoga Allah selalu meridhoi. Amin.
Jangan lupa mengeluh kepada Tuhan. Banyak masalah yang lebih besar dari ini.
Jangan lupa mengeluh kepada Tuhan, karena mengeluh itu tidak dilarang. Justru yang dilarang adalah memendamnya.
Jangan lupa mengeluh, kemudian memperbaiki diri.
Bantul, 1 Juni 2017.
Komentar
Posting Komentar