"Ya, setiap orang. Siapapun mereka. Yang baik, juga yang jahat. Betapapun yang mereka berikan pada kita selama ini hanyalah luka, rasa sakit, kepedihan, dan aniaya, mereka tetaplah guru-guru kita. Bukan karena mereka orang-orang yang bijaksana. Melainkan karena kitalah yang sedang belajar untuk menjadi bijaksana."
(Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah)
Begitulah kiranya closing statement dari materi yang disampaikan oleh murabbiku, mbak Irine. Hari Senin, 12 Desember 2016 adalah pertama kalinya aku menjadi mutarabbinya, pertama kali bertemu dengannya dan pertama kali melingkar. Lingkaran baru setelah sebelumnya telah berganti sejumlah empat kali lingkaran dengan anggota kelompok yang berbeda, dari mbak Evi di semester 1-3, kemudian berlanjut dengan mbak Trini semester 4 dan 5, lalu mbak Syila semester 5, dilanjut mbak Titis semester 6-7 dan akhirnya berpindah ke mbak Irine di semester terakhirku (amin).
Hari ini langit sedang muram, wajahnya kusam oleh mendung yang kelabu. Jalanan basah oleh gerimis yang resah, karena sedari tadi hujannya tak menentu. Terang, kemudian deras, berputar seperti itu. Tak apa, karena hujan hanya membasahi, sehingga tak perlu takut, ia tidak membatasi langkahmu maupun langkahku menjemput kebaikan. Basah bisa kemudian kering, bukan? Seusai makan di Ayam Geprek Cumlaude bersama Friska dan Govin, aku membawa pergi diriku ke masjid Nurul Huda, menuju lantai 2, tempat kita janjian bertemu. Hmm..aku suka sekali suasana NH ketika hujan, tanamannya yang basah mencipta rindang dan sejuknya terbawa hingga ke wajah.
Aku berjalan ringan, mengamati sekeliling sembari menatap tangga penghubung lantai 1 dan 2 akhwat. NH selalu ramai. Sampai di lantai atas, hujan di luar semakin deras. Buihnya menempel di dinding kaca. Dududu, suasana yang hangat dan pas untuk mencipta renung. Aku akhirnya menemukan mbak Irine yang berada di pojok utara memakai jaket berwarna pink. Kukira aku terlambat, ternyata masih banyak yang belum hadir. Saat itu baru aku dan mbak Irine. Kami bertaaruf, memperkenalkan diri kami masing-masing. Aku suka. Iya, aku suka mengenal wajah baru, orang baru karena itu artinya aku mendapat pola pikir baru. Berkenalan adalah hal yang instan, mempertahankan membutuhkan proses.
Beberapa menit kemudian, akhirnya lingkaran ini melebar karena kehadiran dua orang kawan. Farah dari Arsitektur dan Ulfa dari Agribisnis. Berputarlah lingkaran ini, dengan MC yang masih awam, aku. Pertemuan kali ini adalah taaruf. Kami mengenal satu sama lain dan sharing tentang karakter kami masing-masing. Ada kesamaan golongan darah di antara kita berempat, hihihi. Hal yang mencipta tawa kemudian. Hahaha. Namun, dari karakter kami bertiga barangkali berbeda, moody, baper, koleris melankolis dan sanguinis. wkwkwk.
Hal selanjutnya yang ingin kutulis di sini adalah
"Mengapa dirimu hadir di lingkaran ini? Menerabas lebatnya hujan yang membuat kaos kaki, lengan dan rok basah kemudian. Membuatmu kedinginan kemudian. Mengapa kamu hadir, padahal ada banyak hal yang harus dikerjakan?"
Sudah lama aku merindukan jawabanmu. Iya, kamu, siapapun. Karena aku telah bosan dengan jawabanku yang biasa-biasa saja.
Kehadiranku adalah cara mengeja cinta Illahi. Barangkali memang ini bukan satu-satunya cara mendekatinya, namun sangat memudahkanku mengenal diri sendiri dan mengenal Rabbku. Dan karena aku butuh teman untuk berjuang, butuh teman untuk menguatkan dan teman untuk menenangkan. Insan seperti diriku sangat butuh asupan nutrisi, hahaha.
Kudengar di luar sana banyak insan yang mencari jalan. Jalan yang terbentang dari tanganNya. Maka saat kamu ditunjukkan, mengapa harus ragu melewatinya??
Kita tidak tau bagaimana nantinya hati dan pikiran kita diletakkan oleh diri. Kita tidak tau kapan Allah membolak-balikkan hati. Maka aku mensyukuri ketika ada lingkaran yang membuatku kembali ke rumah, kembali ke hati yang damai meski masih pelan dalam menabung cinta yang membukti.Iya, cinta yang berwujud. Cinta yang bertasbih dan berdzikir karenaNya dan kepadaNya.
Kebutuhan seolah mengambil alih persendianku. :)))
Ada banyak hal yang pada akhirnya membuat kita kembali saat kaki terlampau jauh mendaki puncak dunia. Lika-liku kehidupan mahasiswa, anak rantau dan sebagainya membuatku lupa tentang esensi mengapa hal itu harus kualami. Di lingkaran ini akhirnya aku kembali menemukan, bahwa segala yang hadir dalam kehidupan kita, seperti masalah, luka, rasa sakit adalah sebuah alat canggih yang pada akhirnya membentuk kebijaksanaan, kesabaran serta kesyukuran jika kita mampu menggunakan alat itu dengan baik.
Kos Kepatihan Putri, 13 Desember 2016
Komentar
Posting Komentar