Langsung ke konten utama

Muara yang T'terduga



Rabu, 14 Mei 2014
Setiap pertemuan, pasti berbuah manis dan penuh makna, meskipun tidak di awal datangnya.
Bersyukur, Allah memberikan aku banyak kesempatan untuk tiba dalam suatu perkenalan. Meskipun awalnya aku sempat enggan. Tapi, nyatanya Pusdiklat mempertemukan kami dalam lingkaran istimewa Simphosium Neurosains.
Perkenalkanlah aku, sebelum lebih jauh kugores jejak istimewa hari ini. Namaku Galih Ratna Puri Palupi, panggil saja Galih. Orang yang penuh impian dalam hidupnya. Namun, sayang ia tak pandai berbicara maupun membangun hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. Dia pendiam, pemalu. Menurut orang, dia introvet, padahal sebenarnya dia sangat terbuka, hanya takut orang lain salah paham memaknai kata-katanya.
Sungguh, aku memang bukan siapa-siapa. Hanya pemimpi yang ingin menemukan muara di mana Allah menakdirkan. Berambisi menjadi seorang dokter, tetapi Allah menempatku di tempat ini. Membuatku mengerti tempat ini, membuat aku menjadi orang Jogja yang tinggal di Solo. Membuat pertemuanku dengan orangtuaku menjadi semakin bermakna.
Aku sangat suka berkontribusi dan beraksi dalam sebuah organisasi. Namun, aku orangnya sangat serius dan ribet. Jadi, jarang sekali orang yang nyaman ketika bersamaku. Apapun itu, aku selalu berusaha menjadi yang terbaik.
Beberapa bulan lalu, aku dipertemukan dengan orang-orang hebat dan penuh semangat. Aku adalah salah satu yang beruntung terlibat dalam lingkaran persaudaraan HIMAPSI EKSPRESI 2014. Meskipun aku banyak diam, sungguh jika dapat mewujudkan mungkin kecintaan ini melebihi cinta Adam kepada Hawa.
Yuk, kembali ke Simposhium Neurosains. Acara ini adalah acara seminar Internasional dibersamai oleh seorang profesor dari Indonesia yang kini telah menjadi bagian yang berkontribusi dalam pendidikan di Amerika. Beliau adalah dokter Irawan.
Kami, dari Komite Sains dan Penelitian diberikan amanah untuk menjadi volunter atau membantu panitia inti melancarkan acara yang istimewa ini.
Awalnya, saya sangat keberatan menerima amanah ini. Namun, entah kenapa, saya tetap berkata “Ya”. Saya mengeluh dengan bejibun urusan-urusan saya yang semakin bertambah. Tak menentu. Sering lupa agenda, sering telat rapat, kebanyakan tidur karena lelah. Kaki ini, apapun yang terjadi akan tetap kujalankan kemanapun, jika memang aku yang terpilih. Bukankah karena kaki bergerak, maka mata, hati, pikiran akan bergerak. Berpikir tentang apa yang ada di kanan maupun kiri perjalanan. Bukankah, dengan berjalan akhirnya muara yang ingin kita jumpai menjadi semakin dekat? Dan akhirnya kata “Ya” membuatku ada di antara orang-orang hebat itu. Aku datang briefing di sebuah rumah makan bernama Arje Kitchen di daerah Ngoresan, yang saat itu juga aku baru mengerti.
Awalnya aku takut, ada di meja itu. Aku takut tidak dapat masuk dalam pembicaraan kami. Tidak dapat memahami apa yang seharusnya dipahami. Tapi, ternyata Allah sangat memahamiku. Karena aku yakin Allah bersama apa yang kita pikirkan. Jika pikiran kita baik, Dia akan baik pula. Jam 09.00 pm, akhirnya kami melanjutkan agenda menuju Pusdiklat. Pusdiklat adalah salah satu gedung baru milik UNS yang terletak di dekat gerbang depan UNS. Kami, sekitar sepuluh orang, masuk dan melakukan survey di gedung itu. Subhanallah, bagus benar gedungnya. Aku menikmati suasananya, atap, tata ruangnya. Dan, akhirnya sampai di ruangan tempat dilaksanakannya seminar yang tak kalah bagus. Pikiran pertama adalah bahwa kami akan diburu-buru  untuk keluar gedung karena akan mengganggu dosen paniti seminar yang saat itu juga berada di sana. Aku kaku, takut salah bersikap.
Ternyata, dosen-dosen kami sangat menghargai kedatangan kami. Saat latihanpun, tidak ada yang mengusir atau mendesak kami untuk segera mengakhiri survey ini. Malahan, kita di suruh makan. Kami sangat dihormati. Dan di situlah pertama kali aku dapat berceloteh dengan rekan lainnya, bercanda. Dan itu membuatku lega. Aku merasa ada. Dan akhirnya, kopi panas mengakhiri pertemuan ini.

Sungguh, bersama harapan, Allah membawa kita kepada hal yang justru bukan menjadi harapan kita. Dan ternyata dengan melakukan sesuatu yang bukan harapan kita, dapat pula menemukan muara yang menjadi harapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film Al-Ghazali Kimia Kebahagiaan

Data / Identitas Film : Judul Film                               : Al-Ghazzali Kimia Kebahagiaan Oleh                                        : Ovidio Salazar Pemeran             : Ghorban Nadjafi sebagai Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Dariush Arjmand sebagai Nizam al-Mulk Robert Powell sebagai Pengisi Suara Al-Ghazali Mitra Hajjar sebagai istri Ghazali Abdol Reza Kermani sebagai Ahmad Ghazali Muhammad Poorsattar sebaga Sufi Guardian Ali Mayani sebaga Magician “Kita datang ke dunia ini lalu meninggalkannya, sejauh itu sudah pasti kurasa.   Jalan tempat kit...

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Menit Terakhir

Malam ini bintang gemintang tlah luluh di tangan ribuan manusia. Di antaranya berjajar rapi di lapak para pedagang. "Mari, mbak, dibeli kembang apinya sebelum kehabisan." Jika kutawarkan pada pagi, akankah ia membelinya? agar terwujud mimpi melihat bintang di kala terbit matahari. "Tidak, Bang, terimakasih. Coba tawarkan pada pagi!" Jawabku tanpa sadar membuat pedagang itu bingung. Tak ada yang perlu dikembangkan di langit sana malam ini. Angkasa justru lebih anggun dengan bintang yang hanya berkedip barang sekali saja. "Serius, Gin, ndak mau beli kembang api satu saja? Biar kosanmu ramai di menit terakhir 2015 nanti." Sikut Putra. "Yaela Put, itu emang bakal bikin rame. Tapi rame di mata doang. Di hati mah sepi." jawabku lirih, berharap ia menangkap maksudku. Buat apa meramaikan angkasa dengan api-api itu? Sementara dirimu sendiri belum yakin bahwa esuk hatimu akan seramai itu. "Astagfirullah. Gina, kamu ngode aku?" b...