Langsung ke konten utama

Menuju Indonesia Inklusif 2030

Ada agenda menarik di sela carut-marutnya agenda perpolitikan negeri ini, Indonesia. Dalam rangka mewujudkan Indonesia Inklusif di tahun 2030, SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel) menggelar acara Temu Inklusi ke-3 bersama Program Peduli Foundation yang dilaksanakan di Desa Plembutan, Playen, Gunung Kidul pada tanggal 22 sampai dengan 25 Oktober 2018. Desa ini telah ditetapkan menjadi Desa Inklusi. Hal tersebut dapat dilihat dari perhatiannya yang lebih terhadap para difabel, mulai dari melibatkan mereka dalam setiap pembuatan kebijakan pemerintah desa hingga memfasilitasi mereka agar mudah berpartisipasi memajukan desa.

Acara ini melibatkan masyarakat luas seluruh Indonesia, terutama mereka yang memiliki kepedulian lebih terhadap isu disabilitas. Aroma kolaborasi terasa pekat saat semua kalangan difabel maupun non difabel berkumpul menjadi satu kalangan yang disebut manusia. Aman dari eksklusifitas yang seringnya mendiskriminasi kalangan-kalangan difabel, memandang rendah potensi, dan menganggap tak berdaya. Sebaliknya, justru di Temu Inklusi ini menjadi obat bagi pikiran-pikiran kami yang sakit. Mata kami dibuat melek dan hati kami dibuat sadar melalui kegiatan-kegiatan dalam acara ini, seperti workshop dan pameran yang memamerkan karya-karya difabel.
 
Gambar 1. Kegiatan Seminar Nasional 

Salah satu workshop di acara ini bertema Media dan Disabilitas yang menghadirkan dua narasumber bernama Mas Kertaningtyas founder Komunitas Lingkar Sosial dan  Mas Tomi salah satu anggora AJI  (Aliansi Jurnalis Independen).

 
Gambar 2. Kegiatan Diskusi Media dan Disabilitas 

Melalui workshop tersebut kami diingatkan kembali mengenai pentingnya kolaborasi untuk menyelamatkan mereka yang selama ini menjadi korban stigma masyarakat, tidak merdeka. Bahwa sesungguhnya para penyandang difabel juga berhak dimerdekakan. Mereka juga berhak berkreasi dan berkontribusi membangun negeri dengan kelebihan yang dimiliki. Tak menutup kemungkinan juga bagi mereka untuk maju dan berdaya selayak manusia yang lainnya. 

Diskusi dalam workshop ini menarik karena kami distimulasi untuk menjadi manusia yang lebih peduli pada isu-isu disabel dalam ranah media komunitas. Bahwa selama ini pembahasan mengenai nasib para difabel dan perjuangan mereka dalam mempertahankan hidup menjadi tak kasat mata di pertelevisian Indonesia. Maka berkaitan dengan pengamalan Pancasila sila ke-2 dan ke-5, sudah sepatutnya isu-isu ini dipedulikan. 

Sebagai pihak yang bergerak di bidang jurnalistik, memperjuangkan hak para penyandang difabel adalah hal yang menantang. Coba perhatikan, sudah berapa media di pertelevisian Indonesia yang konsisten ramah difabel? Bisa dihitung jari. Hanya chanel itu-itu saja yang memberikan akses berupa subtitle atau jasa penerjemah menggunakan bahasa isyarat untuk memudahkan para penyandang difabel memahami tayangan yang disuguhkan.

Di akhir acara, kami mendiskusikan empat poin penting yang kemudian menjadi aspirasi untuk disampaikan kepada pihak yang berwenang. Empat poin penting tersebut membahas mengenai, pertama masalah yang hendak dipecahkan dari diskusi mengenai isu-isu disabilitas, kedua inovasi yang sedang dan akan dilakukan, ketiga langkah yang akan dilakukan ke depan sebagai tindak lanjut pemecahan masalah, keempat rekomendasi untuk pihak yang berwenang.

Setelah acara workshop kami disuguhkan tutorial meracik kopi oleh Barista Inklusi, di salah satu stand pameran. Kamipun dijamu oleh rasa kagum pada kelihaian seorang difabel tuna daksa yang kedua tangannya diamputasi dalam meracik kopi. Rasanya? Tak kalah lezat dengan kopi-kopi lainnya.

 Gambar 3. Tutorial Meracik Kopi oleh Barista Inklusi

Dari serangkaian workshop, pameran, dan kegiatan-kegiatan lain dalam acara Temu Inklusi diharapkan akan menghasilkan output berupa rumusan roadmap dan indikator Indonesia inklusif yang dapat diukur capaiannya tiap dua tahun.

Pesan saya untuk diri sendiri, pemuda Indonesia dan seluruh masyarakat di zaman Milenial ini bahwa kiranya peduli itu sederhana cukup mengalihkan perhatian kita dari rumitnya perbandingan hidup dengan orang lain, menjadi lebih melek terhadap kegiatan-kegiatan yang mencoba memanusiakan manusia, di kehidupan maya maupun nyata. Mencoba mengikuti dan mendukung #Program Peduli #TemuInklusi #Difabel.Id, misalnya. Agar kepedulian kita terhadap sesama lebih mudah terprogram.

_Galih Ratna_


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Review Film Al-Ghazali Kimia Kebahagiaan

Data / Identitas Film : Judul Film                               : Al-Ghazzali Kimia Kebahagiaan Oleh                                        : Ovidio Salazar Pemeran             : Ghorban Nadjafi sebagai Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Dariush Arjmand sebagai Nizam al-Mulk Robert Powell sebagai Pengisi Suara Al-Ghazali Mitra Hajjar sebagai istri Ghazali Abdol Reza Kermani sebagai Ahmad Ghazali Muhammad Poorsattar sebaga Sufi Guardian Ali Mayani sebaga Magician “Kita datang ke dunia ini lalu meninggalkannya, sejauh itu sudah pasti kurasa.   Jalan tempat kit...

Y?

 (Line) "Ka Galih.." seorang adik dari jauh sana, dari Semarang lebih tepatnya. Siang-siang menghubungiku yang sedang asik menulis layar leptop. "Y?" jawabku singkat. Kemudian aku menengok hp lagi. Aku tersenyum tipis. Dia hanya ngeread. Bukan masalah. *** "Ka Galih.." "Ka Galih marah?" "Astagfirullah, kenapa mikir gituuh?" "Kirain marah." "Enggak marah kok. Kenapa sih emang?" "Abis jawabnya cuma Y" "Ckakakakakaa, ya ampun. Maaf deh kalau aku jawabnya singkat." Untung ya, dia bersegera tabayyun, bisa-bisa aku jadi orang yang no problem kalau di mata kuliah teknik konseling, padahal ada yang ngira aku marah gara-gara gaya chat. Sebenarnya ga hanya gaya chat, sekarang cuma diread doang, trus balesnya lama, dan lain-lain bisa bikin orang lain bete . Tapi, aku yakin pertemanan ga sesempit itu, bukan?