Kehidupan setelah wisuda membuatku semakin butuh ruang dan waktu untuk kontemplasi. Ga cuma itu. Di saat temen-temen ku yang lain sedang fokus pada pencapaiannya di dunia kerja, rasanya semakin kaku untuk sekedar mengajak mereka bertemu dan berdiskusi. Pada akhirnya lagi-lagi aku yang harus paham dengan kondisi ini, mengabaikan diriku yang sebenernya rindu buat dipahami. Ya, memang harus paham. Dan ketika aku paham, pikiranku justru semakin rebah, dan berubah. Aku jadi butuh teman hidup. Semata karna aku ingin punya temen buat mendiskusikan segala hal, dunia dan akhirat.
Mendekat kepada Allah adalah satu-satunya solusi agar aku tetap bersyukur, tenang dan sabar. Kadang saat benar-benar buntu, aku ingin menutup mata. Dan mulai memberi kesempatan hati untuk menceritakan segalanya pada Allah. Meskipun tanpa aku harus bercerita, Allah udah mengetahui. Setidaknya katarsis melalui ini lebih aman, daripada bercerita dan curhat kepada lawan jenis.
Sekarang media sosial semakin rumit. Aku rindu yang sederhana. Yang hanya bisa buat chat aja, ga ada fitur story yang seperti jendela. Dari jendela itu kita bebas melihat kehidupan orang lain dan tanpa sadar membandingkan dengan kehidupan kita.
Kadang aku ingin pergi berkelana. Tanpa harus menjelaskan tujuanku. Dan dalam perjalanan itu, aku berharap Ia pertemukan dengan seorang. Yang bikin aku nyaman membicarakan kekurangan-kekuranganku, tanpa harus meninggalkan bekas rasa bersalah dan merasa rendah karena telah menceritakannya. Aku butuh ketemu orang yang bisa secara langsung menyampaikan pendapatnya tentang diriku, tanpa ngebatin dan akhirnya tidak berpengaruh apa-apa. Aku butuh ketemu seorang yang mau untuk saling membantu selesai dengan diri kita masing-masing.
Sesekali aku ingin bilang pada seseorang, menyoal sesuatu yang kutunggu kejelasannya. Tapi aku sudah terlanjur pasrah.
Komentar
Posting Komentar