"Kira-kira begini rasanya tertawan. Kepenatan memilikimu di dalamnya."
Kira-kira hampir terhitung dua tahun lamanya. Kira-kira hampir tak merasa secepat ini berlalunya. Pastinya masih merasakan rutinitas yang sama, ketidaknyamanan yang sama, kesenangan yang sama dan senyum dari orang-orang yang sama. Kira-kira begitu, sedikit hal saja yang berubah. Berubah pola pikirnya, kepekaannya, toleransinya. Ah, psikologi, kamu semakin membuat aku menjadi perasa. Sedikit logika yang kugunakan. Mungkin karena itu ia mulai rapuh, mulai laun.
Tak ada yang berubah. Banyak hal yang kudapati masih tak sesuai dengan ilmu yang kami jalani. Ah, psikologi, ternyata tak semudah itu memahami dan menerapkan ilmu dalam ragamu yang begitu halus. Ya, ia memang sangat halus namun di dalam halusmu, kau mampu menggerakkan jiwa manusia, memindahkannya kemudian bermusim dalam suasana damai. Ia memang sangat lembut, suaranya begitu nyaman tuk didengar, matanya tajam memahami. Oh, psikologi, apa kau bagian dari cinta-Nya?
Setelah menjalani fase ini. Fase yang menyibukkan diri. Fase yang sensitif sekali terhadap kesalahan yang ada. Oh, sungguh membuatku merasa semakin kecil di hadapanNya. Ternyata, masih banyak bukti yang harus kunyatakan kepadaNya.
EkspeMa(read: eksperimen manusia)
Kemarin hampir banyak pikiran yang muncul di ruangan itu. Ada tugas yang sedang kami jalankan. Tugas tersebut membuat kami terlibat oleh sebagian orang dari organisasi tertentu. Ada fase menunggu. Bukan aku dan teman-temanku, tapi peserta. Pikiranku melayang kemana-mana, prasangka demi prasangka tetiba mengetuk pintu-pintu rasa. Itu adalah saat aku berada di depan peserta yang sedang menunggu kami untuk segera memulai acara, mengamati segala ekspresi dan gerak-geriknya.
Aku tak bisa apa-apa saat melihat kaki-kaki yang terus bergerak, mata yang setia melihat jam di tangan setiap detik bergilir, kemudian wajah yang sesaat memandang kepada kami, pelaksana acara. Sesekali aku merasakan mereka berbicara dalam gerak kakinya, "Cepetan dimulai! Buruan! Jangan lama-lama!" Ya, kurang lebih seperti itu. Kau tau apa yang kulakukan?
Tiba-tiba saja aku mengangguk di depan seorang yang sedari tadi menggerakkan kakinya. Tak sabar menunggu.
Oh, psikologi, haruskah ku menegurnya untuk bersabar?
Atau sebenarnya aku yang tidak sabar menghadapi mereka yang sudah berbaik hati membantu kami?
Betapa kami belum pandai merasa.
Tertawan
Kepenatan itu secara alamiah membuat jantung berdebar tak semestinya. Seolah suatu ancaman benar-benar ada di hadapanku. Besar. Sesekali ingin sekali memelukNya, namun kita sedang jauh.
Bukan. Ternyata bukan ancaman. Ternyata ialah pertanda. Karena setelahnya, kau hadir menghapus kepenatan itu.
Ah, Tuhan memang selalu adil.
Komentar
Posting Komentar