Hai, apa kabar yang sudah lama tak jumpa? Apa kabar yang sudah enggan menyapaku? Eh, atau aku yang enggan menyapa. Maafkan aku. Jika kamu rasa ada yang berbeda denganku. Bertahan atau pergi, adalah hak. Pun, aku takkan memaksamu bertahan, jika dirasa tidak nyaman. Di sebuah relasi yang membuatku asing, tak tau menau disaat yang lain diberi tau, sungguh membuatku jadi lebih enggan. Eh tapi itu hanya enggan. Aku akan tetap bertahan, setidaknya dipertemuan antara mataku dan pergantian malam, namamu selalu kudoakan. Maafkan aku. Jika tak lagi selalu ada. Menyambut hari² pentingmu. Yang jelas, aku selalu senang setiap tahu bahwa kamu dan keluargamu sehat. Maafkan aku. Belum banyak mengirimkan banyak hadiah. Tapi yakinlah, bahwa itu bukan satu²nya simbolis tuk menandakan rasa sayangku. Semoga kabarmu baik² saja. Aku di sini sedang mencukupkan diri. Sedang memenuhi diri. Suatu saat, rasanya ingin kembali lagi bercengkrama seperti dulu. Jika masih diizinkan masuk.
Hai, apa kabar kamu yang sekarang? Sudahkah lebih nyaman dengan diri dan sekelilingmu? Bagaimana dengan ekspektasi-ekspektasi itu, apakah terkelola dengan baik? Berapa kali kamu tersenyum karena betul-betul bahagia menikmati hidup ini? Sudah berapa kali kamu berpikir bahwa kamu berharga dan patut diperjuangkan? Aku tidak percaya sampai saat ini, bisa tumbuh dan bertahan di raganya orang sepertimu. Orang yang selalu merasa tidak cukup dengan dirinya. Orang yang selalu mengupayakan yang terbaik untuk orang lain, namun belum pernah sekalipun merasakan diupayakan bahagianya oleh orang lain. Iya, aku tau ini bukan tugas orang lain membahagiakan dia, tapi dia begitu butuh itu. Orang yang selalu menusuk-nusuk dirinya dengan berbagai penilaian negatif. Orang yang sebenarnya sangat ramah, baik hati, lembut, setia kawan, jujur, namun tak pernah lihai mendedikasikan setiap pilihan hidup untuk dirinya. Bahkan masih tidak percaya, karena setiap aku tanya keinginannya a...