Sudah kusadari sejak dulu, aku
dilahirkan bukan untuk selalu menang, namun selalu berjuang. Berjuang untuk
mendapat kepastian dari Allah, bukan sepenuhnya untuk mencapai apa yang menjadi
mimpiku.
Dan jawabannya memang Psikologi. Sungguh, bersyukur. Meski sedih rasanya menerima semua ini di depan mata ibu yang mendambakan diriku menjadi seorang dokter. Namun, takdir Tuhan lebih indah. Akhirnya aku memantapkan langkah. Semua sudah pasti. Itulah apa yang selama ini menguatkan -> Kepastian.
Masalahnya adalah ada satu hal yang harus ku perbaiki lagi dari diri. Aku belum sepenuh hati untuk bisa berkata NYAMAN singgah di Solo. Aku merasa krisis kepercayaan dari teman-temanku di sana. Ditambah kesan pertama dari seorang teman yang sampai sekarang masih membekas. Aku merasa kurang diterima di sini. Akupun bingung bagaimana cara untuk bisa diterima. Banyak mata yang memperlihatkan keanehannya terhadapku. Sampai beberapa kali aku bertanya pada salah seorang temanku, “Apa, salahku?” Mengapa selalu dibedakan?? Mengapa?
Aku merenungi semester 1-2 yang tidak lepas dari tetesan air mata di sepanjang perjalanan pulang dari kampus hingga kos-kosan. Sampai akhirnya kamu hadir.
Kamu hadir di saat yang tepat. Hadir di saat aku benar-benar butuh alasan untuk bisa bertahan di Solo.Kamu hadir dan turut ambil bagian dari pergerakan langkah memperbaiki segala keadaan. Kamu hadir dan turut andil, hingga akhirnya aku menyadari, semua BUKAN SALAH teman-teman. Tapi aku yang kurang bisa menempatkan perasaan. Aku yang kurang bisa mengartikan keadaan.
Seseorang yang cukup membuatku bersemangat melangkah ke kampus. Menikmati dan menerima keadaan di sini. Membuatku merasa punya teman bercerita. Kamu yang cukup bisa membuat ceritaku bernyawa. Kamu salah satu dari orang yang membuatku merasa bahagia.
Saking bahagianya, aku tergerak tuk selalu memantaskan diri. Memantaskan diri di depan-Nya dan berdoa agar selalu dalam kelurusan.
Saking bahagianya, aku menutupi. Agar tidak sempurna terlihat olehmu.
Sejak dulu, aku tidak pernah
mendapatkan apa yang aku inginkan, sejak SMA dan kuliah ini. Aku menginginkan
SMAN 1 Yogyakarta namun ditakdirkan di SMAN 2 Bantul. Aku ingin berkuliah di
Pendidikan Dokter UNS, namun ditakdirkan di Psikologi UNS.
Aku sempat ragu, dan ingin
memastikan jalan itu. Jalan yang sejak lama kuimpikan, khususnya sejak Mas
Topan, kakak tersayang meninggalkan kami. Aku ingin memilih mengabdikan diri
menjadi dokter. Aku meminta kepastian Illahi dengan segenap upayaku. Sampai
sempat aku hampir kehilangan komitmen di salah satu organisasi kampus. Akupun
tak punya cara bagaimana bicara yang baik tentang ini. Hanya waktu itu yang
terselip dibenakku ialah jika benar Psikologi memang takdirku, aku akan lakukan
yang terbaik dan memampukan diri sepenuh hati di sini. Memperbaiki kinerjaku,
dan lain sebagainya. Sungguh, semua tes PTN 2014 aku ikuti semua. Namun,
hasilnya, masih tetap Psikologi. Dan Allah memang selalu menunjukkan Psikologi
untukku.
Dan jawabannya memang Psikologi. Sungguh, bersyukur. Meski sedih rasanya menerima semua ini di depan mata ibu yang mendambakan diriku menjadi seorang dokter. Namun, takdir Tuhan lebih indah. Akhirnya aku memantapkan langkah. Semua sudah pasti. Itulah apa yang selama ini menguatkan -> Kepastian.
Aku tidak merasa gagal. Sungguh,
dari apa yang aku terima, aku belajar dan selalu memaknai. Allah Maha
Pengertian. Dia memilihkan tempat yang di sana aku selalu bisa berkembang. Pun
aku dipertemukan dengan teman yang tak henti-hentinya memperbaiki diri, merangkul
dan meraih sukses bersama. Aku memaknai bagaimana cara untuk bahagia dan
membahagiakan dari apa yang aku peroleh di depan mata.
Masalahnya adalah ada satu hal yang harus ku perbaiki lagi dari diri. Aku belum sepenuh hati untuk bisa berkata NYAMAN singgah di Solo. Aku merasa krisis kepercayaan dari teman-temanku di sana. Ditambah kesan pertama dari seorang teman yang sampai sekarang masih membekas. Aku merasa kurang diterima di sini. Akupun bingung bagaimana cara untuk bisa diterima. Banyak mata yang memperlihatkan keanehannya terhadapku. Sampai beberapa kali aku bertanya pada salah seorang temanku, “Apa, salahku?” Mengapa selalu dibedakan?? Mengapa?
Aku merenungi semester 1-2 yang tidak lepas dari tetesan air mata di sepanjang perjalanan pulang dari kampus hingga kos-kosan. Sampai akhirnya kamu hadir.
Kamu hadir di saat yang tepat. Hadir di saat aku benar-benar butuh alasan untuk bisa bertahan di Solo.Kamu hadir dan turut ambil bagian dari pergerakan langkah memperbaiki segala keadaan. Kamu hadir dan turut andil, hingga akhirnya aku menyadari, semua BUKAN SALAH teman-teman. Tapi aku yang kurang bisa menempatkan perasaan. Aku yang kurang bisa mengartikan keadaan.
Seseorang yang cukup membuatku bersemangat melangkah ke kampus. Menikmati dan menerima keadaan di sini. Membuatku merasa punya teman bercerita. Kamu yang cukup bisa membuat ceritaku bernyawa. Kamu salah satu dari orang yang membuatku merasa bahagia.
Saking bahagianya, aku tergerak tuk selalu memantaskan diri. Memantaskan diri di depan-Nya dan berdoa agar selalu dalam kelurusan.
Saking bahagianya, aku menutupi. Agar tidak sempurna terlihat olehmu.
Saking bahagianya, aku tidak bisa
menjaga diriku dengan baik. MAAFkan aku. Meskipun itu lebih baik. Lebih baik dari
mengungkapkan (kebahagiaanku sejak kehadiranmu) kepadamu. Sejujurnya aku tidak
seeklusif ekspektasi teman-teman terhadapku. Aku pecinta kebebasan. Apa yang
aku ungkapan adalah apa yang aku ingin sampaikan. Namun, banyak tanda yang
memberi kesan berbeda tentang ini. Memberi penyampaian padaku tentang penjagaan
yang selama ini selalu aku usahakan.
Kau cukup sukses membuatku bertahan
dan menikmati kuliahku di Solo ini. Aku kurang bisa mengenalmu, maka dari itu
aku tak begitu tau tentangmu. Entahlah, namun tak dipungkiri jika dikaitkan
dengan harapan, kau adalah salah satunya. Dan akupun tidak menyalahkan fitrah ini.
Biarlah. Aku tidak terlalu menginginkan
lebih. Bahkan sungguh tidak terlalu ingin kamu akan mengerti bahwa kamu(ku)
adalah kamu. Yang mungkin juga tidak akan membaca deretan paragraf yang minim
informasi ini.
Kau berada di sekitar orang-orang yang hebat. Aku jauh sekali di belakang mereka. Dan aku diluar ekspektasimu.Pasti. Aku mati-matian untuk tidak tenggelam dalam kungkungan rasa yang tidak netral ini, tanpa menyalahkan kehadirannya.
Kau berada di sekitar orang-orang yang hebat. Aku jauh sekali di belakang mereka. Dan aku diluar ekspektasimu.Pasti. Aku mati-matian untuk tidak tenggelam dalam kungkungan rasa yang tidak netral ini, tanpa menyalahkan kehadirannya.
Beberapa waktu lalu sebelum aku
memutuskan untuk memberhentikan kebebasan yang aku sebut kebebasan, hampir saja
aku keluar jauh dari batas. Jauh dan tanpa kusadari menurutku itu membuatmu
kurang nyaman. Itu semua yang membuatku akhirnya memilih untuk menitipkan pada-Nya,
semoga hati itu diberikan pada orang yang tepat. Meskipun aku masih yakin, kamu
termasuk di deretan orang yang aku maksud.
Aku tidak menjajikan untuk bisa
menjaga dengan sempurna. Maaf jika sewaktu-waktu aku membuatmu merasa
terganggu. Diamku adalah seperempat dari usahaku, sisanya adalah usaha lain tuk
selalu memperbaiki dan melayakkan diri di depan Allah SWT.
Jangan pernah hilang.
Terimakasih sudah turut andil dalam
perjuanganku bertahan disini. Semoga Allah selalu membalasmu dengan kebaikan.
Amin.
Komentar
Posting Komentar