Langsung ke konten utama

Nak, kapan pulang ke rumah?

Bagi kedua bola mata ini, cinta paling besar yang kuterima dari Allah Ta'ala adalah lahir dalam keadaan Islam dan memiliki seorang Ibu sebaik ibuku. Dari rahimnya perlahan aku melewati tahap demi tahap kehidupan. Diberinya kehangatan saat nafasku terengah lelah. Tetap seperti itu, tidak berubah hingga sekarang. Iya, masa sekarang, di mana aku hampir melalui tahap memantaskan diri menjadi seorang Ibu. Kukatakan hampir karena saat ini, memantaskan diri sebagai pribadi yang baik di mata Tuhan dan dapat memanusiakan manusia saja belum lolos-lolos. Fase kehidupan semakin butuh banyak wawasan untuk memecahkan segala persoalan. Secara tidak langsung dunia meminta penghuninya siap beradaptasi dengan segala macam era. Tak apa tak perlu takut. Zaman sekarang banyak wadah dan tempat untuk berkreasi. Banyak sekali tempat untuk setidaknya mencicil kesiapan diri di detik yang akan datang. Bagi mahasiswa barangkali bisa ikut serta di sebuah organisasi yang diminati atau semacamnya. Membekali perjalanan waktu dengan aktivitas yang produktif, seperti berdzikir, membaca Al-Qur'an, memahahami artinya, mempraktikkan sambil menghafal dan membagi ilmunya kepada orang lain. Cara membagi ilmunya juga bermacam-macam. Bagi yang menyukai kompetisi bisa menebar ilmu melalui Musabaqah Syarhil Qur'an dan semacamnya. Itu salah satu contoh produktivitas. Kurasa kamu lebih tahu tentang itu dari pada aku. 

Di sekeliling, kuamati cukup banyak orang-orang yang mulai bergerak mempersiapkan. Akupun. Aku mulai memaksa diri untuk aktif, meskipun hanya aktif kuliah, hahaha. Mempertahankan keruntutan presensi tanpa TA(Titip Absen) misalnya.Semakin mencoba hal baru, semakin terbuka hal baru lainnya yang ternyata persoalannya semakin rumit. Aku jajaki satu persatu dan berusaha kunikmati meskipun sulit. Segala waktuku kemudian terisi, penuh, namun jiwaku justru semakin rapuh, jauh dari makna indah hidup ini. Aku mulai merenungi sebuah peran saat jatah waktu seakan menipis padahal tetap sama 24 jam. Aku sempat menjadi orang 'sombong', yang saat orang lain menghubungiku, aku mulai slow respon. 'Kesombongan' itu makin tampak saat ada yang melimpahkan suatu hal padaku, kemudian kujawab, "Aku ada agenda ini itu." yang menjadi dasar untuk menolaknya. Aku semakin tidak punya ruang, bahkan untuk nafasku sendiri. Yang pada akhirnya sampai di sebuah persimpangan jalan. Di persimpangan yang lekat dengan serpihan temaram, aku berhenti tepat saat bulan merah jambu, kemudian membaca ponsel, "Nak, kapan pulang ke rumah?". Tulisan yang dilukis oleh seorang Ibu, yang sedang berada jauh dariku. Aku terbayang sejenak Ibu dan kehidupan di rumah sana. Jelas pesan tersebut beresensi. Untuk menulis pesan, ibuku butuh menggunakan kacamata. Artinya, ibu melakukan usaha demi mengetahui kapan anaknya pulang ke rumah.

Air mataku terurai begitu saja di sepanjang jalan. Lha kok njawab pertanyaan gitu aja susahnya minta ampun, ya Allah. Agenda apa yang membuat ku sulit meluangkan waktu untuk ibu di kota yang jaraknya masih terjangkau dengan kotaku. 

Sejenak hening. Hening. Hening. Hingga pertanyaan dari orang lain dengan tenang mampu kujawab, "Aku sedang di rumah." Di rumah, merawat cinta Allah (read: Ibu). 

Tiada artinya segala hal, sampai dirimu benar-benar paham bahwa this too shall pass. Hal yang membuatmu kembali pada muara hati yang jernih. InsyaAllah

#30HariMenulis



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Pohon, Kebun Teh dan Basket

Sejak kapan kamu mengenal rumah pohon, kebun teh dan basket? Sejak ada film yang berjudul My Heart. Rachel, Farel dan Luna menjadi pemain utamanya. Yuki Kato memerankan Rachel dan Irshadi Bagas memerankan Farel. Jujur dulu aku tak begitu suka tokoh Luna, jadi nama pemerannya pun tidak ingat sampai sekarang, kecuali pemeran versi dewasa yaitu Acha.  Banyak hal yang kutiru di sana. OMG betapa besar efek film My Heart bagi diriku waktu itu. Kebetulan waktu kecil aku memang tomboy sekali. Hal itu membuat teman SD sering memadankan aku dengan tokoh Rachel. Aku mulai berimajinasi bahwa kota Bogor serindang yang diilustrasikan di dalam film. Persahabatan seindah yang diperankan. Bermain di kebun teh seasik di lakon film. Basket pun. Saat itu aku bermimpi bisa main ke Bogor mengunjungi danau dengan dua perahu yang dinaiki Rachel dan Farel, naik ke rumah pohon mereka trus main ke kebun teh yang dingin dan sejuk. Dulu entah mengapa pengin banget tinggal di Bogor. Iya, bermula dari...

Review Film Al-Ghazali Kimia Kebahagiaan

Data / Identitas Film : Judul Film                               : Al-Ghazzali Kimia Kebahagiaan Oleh                                        : Ovidio Salazar Pemeran             : Ghorban Nadjafi sebagai Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Dariush Arjmand sebagai Nizam al-Mulk Robert Powell sebagai Pengisi Suara Al-Ghazali Mitra Hajjar sebagai istri Ghazali Abdol Reza Kermani sebagai Ahmad Ghazali Muhammad Poorsattar sebaga Sufi Guardian Ali Mayani sebaga Magician “Kita datang ke dunia ini lalu meninggalkannya, sejauh itu sudah pasti kurasa.   Jalan tempat kit...

Menit Terakhir

Malam ini bintang gemintang tlah luluh di tangan ribuan manusia. Di antaranya berjajar rapi di lapak para pedagang. "Mari, mbak, dibeli kembang apinya sebelum kehabisan." Jika kutawarkan pada pagi, akankah ia membelinya? agar terwujud mimpi melihat bintang di kala terbit matahari. "Tidak, Bang, terimakasih. Coba tawarkan pada pagi!" Jawabku tanpa sadar membuat pedagang itu bingung. Tak ada yang perlu dikembangkan di langit sana malam ini. Angkasa justru lebih anggun dengan bintang yang hanya berkedip barang sekali saja. "Serius, Gin, ndak mau beli kembang api satu saja? Biar kosanmu ramai di menit terakhir 2015 nanti." Sikut Putra. "Yaela Put, itu emang bakal bikin rame. Tapi rame di mata doang. Di hati mah sepi." jawabku lirih, berharap ia menangkap maksudku. Buat apa meramaikan angkasa dengan api-api itu? Sementara dirimu sendiri belum yakin bahwa esuk hatimu akan seramai itu. "Astagfirullah. Gina, kamu ngode aku?" b...