Bagi kedua bola mata ini, cinta paling besar yang kuterima dari Allah Ta'ala adalah lahir dalam keadaan Islam dan memiliki seorang Ibu sebaik ibuku. Dari rahimnya perlahan aku melewati tahap demi tahap kehidupan. Diberinya kehangatan saat nafasku terengah lelah. Tetap seperti itu, tidak berubah hingga sekarang. Iya, masa sekarang, di mana aku hampir melalui tahap memantaskan diri menjadi seorang Ibu. Kukatakan hampir karena saat ini, memantaskan diri sebagai pribadi yang baik di mata Tuhan dan dapat memanusiakan manusia saja belum lolos-lolos. Fase kehidupan semakin butuh banyak wawasan untuk memecahkan segala persoalan. Secara tidak langsung dunia meminta penghuninya siap beradaptasi dengan segala macam era. Tak apa tak perlu takut. Zaman sekarang banyak wadah dan tempat untuk berkreasi. Banyak sekali tempat untuk setidaknya mencicil kesiapan diri di detik yang akan datang. Bagi mahasiswa barangkali bisa ikut serta di sebuah organisasi yang diminati atau semacamnya. Membekali perjalanan waktu dengan aktivitas yang produktif, seperti berdzikir, membaca Al-Qur'an, memahahami artinya, mempraktikkan sambil menghafal dan membagi ilmunya kepada orang lain. Cara membagi ilmunya juga bermacam-macam. Bagi yang menyukai kompetisi bisa menebar ilmu melalui Musabaqah Syarhil Qur'an dan semacamnya. Itu salah satu contoh produktivitas. Kurasa kamu lebih tahu tentang itu dari pada aku.
Di sekeliling, kuamati cukup banyak orang-orang yang mulai bergerak mempersiapkan. Akupun. Aku mulai memaksa diri untuk aktif, meskipun hanya aktif kuliah, hahaha. Mempertahankan keruntutan presensi tanpa TA(Titip Absen) misalnya.Semakin mencoba hal baru, semakin terbuka hal baru lainnya yang ternyata persoalannya semakin rumit. Aku jajaki satu persatu dan berusaha kunikmati meskipun sulit. Segala waktuku kemudian terisi, penuh, namun jiwaku justru semakin rapuh, jauh dari makna indah hidup ini. Aku mulai merenungi sebuah peran saat jatah waktu seakan menipis padahal tetap sama 24 jam. Aku sempat menjadi orang 'sombong', yang saat orang lain menghubungiku, aku mulai slow respon. 'Kesombongan' itu makin tampak saat ada yang melimpahkan suatu hal padaku, kemudian kujawab, "Aku ada agenda ini itu." yang menjadi dasar untuk menolaknya. Aku semakin tidak punya ruang, bahkan untuk nafasku sendiri. Yang pada akhirnya sampai di sebuah persimpangan jalan. Di persimpangan yang lekat dengan serpihan temaram, aku berhenti tepat saat bulan merah jambu, kemudian membaca ponsel, "Nak, kapan pulang ke rumah?". Tulisan yang dilukis oleh seorang Ibu, yang sedang berada jauh dariku. Aku terbayang sejenak Ibu dan kehidupan di rumah sana. Jelas pesan tersebut beresensi. Untuk menulis pesan, ibuku butuh menggunakan kacamata. Artinya, ibu melakukan usaha demi mengetahui kapan anaknya pulang ke rumah.
Air mataku terurai begitu saja di sepanjang jalan. Lha kok njawab pertanyaan gitu aja susahnya minta ampun, ya Allah. Agenda apa yang membuat ku sulit meluangkan waktu untuk ibu di kota yang jaraknya masih terjangkau dengan kotaku.
Sejenak hening. Hening. Hening. Hingga pertanyaan dari orang lain dengan tenang mampu kujawab, "Aku sedang di rumah." Di rumah, merawat cinta Allah (read: Ibu).
Tiada artinya segala hal, sampai dirimu benar-benar paham bahwa this too shall pass. Hal yang membuatmu kembali pada muara hati yang jernih. InsyaAllah
#30HariMenulis
Komentar
Posting Komentar